Jumat, 13 November 2009

Kritik sajak Si Anak Hilang Sitor Situmorang

Pada awal pembahasan A. Teuw mendiskripsikan bahwa Sitor adalah pengarang tiga zaman, tiga negeri dan tiga bahasa. Tiga zaman sesudah Chairil Anwar yang menjadi penyair angkatan 45 yang sangat terkemuka, dengan varian eksistensialisnya sendiri. Lantas dia menonjol pula di zaman demokrasi terpimpin serta dia muncul lagi pada perkembangan baru dunia kesastraan. Tiga negeri, sebagai penyair Sitor menunjukkan tiga sifat orientasi geografi-budaya Batak. Sudah tentu pula ia penyair Indonesia sebagai negara dimana dia berpijak. Selain itu dia juga penghuni Eropa khususnya Perancis, tetapi pula Italia, Belanda dan negara lain. Tiga bahasa: sudah tentu puisi yang dikarangnya berbahasa Indonesia, tetapi sesudah pembebasannya dari tahanan dia banyak menciptakan karyanya dengan bahasa Inggris ( The Rites of the Bali Aga) dan bahasa Belanda.

Dalam sajak Si anak hilang karya sitor situmorang ini A. Teuw lebih menonjolkan aspek objektifnya saat memberi penilaian. Hal ini dapat kita ketahui bahwa sajak si anak hilang merupakan sajak yang paling sempurna keseimbangan strukturnya. Penafsiran terhadap struktur tersebut bukan merupakan hal yang paling rumit, karena konteks makna dari kata demi kata dan bait demi bait tampak jelas. Selain itu, A Teuw juga memberikan penelusuran yang sangat jelas awalnya dari segi bentuk, larik, rima, irama kemudian menyatukan konsep makna yang terkandung dari bait ke bait.

Jika kita mengamati dari dua segi terdapat pertentangan antara bentuk dan maknanya, tetapi itu justru mempertinggi dan mempertajam efek puitisnya. Sajak yang lebih bercorak tradisional ini mengandung makna utama yang akan meniadakan dan memungkiri kemungkinan seorang anak muda yang sudah merantau untuk pulang, kembali ke tradisi dan suasana lama; sebab si anak hilang untuk selamanya dan tidak akan pulang kembali pulang. Yang kedua sajak ini merupakan sebuah sajak epik, menceritakan peristiwa seorang anak yang kembali ke rumah orang tuanya di kampong asalnya. Ini jelas bukan sebuah epos, karena si “aku” di lirik ini diobjektifkan menjadi seorang anak. Seorang dia tetapi dalam kenyataanya merupakan abstraksi dari si “aku” tersebut.

Kedua hal yang telah dibedakan diatas dapat memperkuat efek sajak ini yang akan terjelma sebuah ironi didalamnya. Ironi adalah pertentangan antara bentuk dan makna, antara ungkapan dan penafsirannya, dalam keseluruhan sajak. Seolah sajak ini hamper mirip dengan pantun, tetapi bentuk seperti itu dapat digunakan untuk mengungkapkan pengasingan yang sangat modern.

Jika kita tinjau dari segi latar belakang Sitor dalam menulis sajak ini berusaha untuk menyelamatkan bentuk lama yang sudah hilang, dia tidak ingin menghidupkan kembali bentuk sastra lama demi bentuk itu sebab bentuk itu dapat dimanfaatkannya justru oleh karena sudah hilang atau sudah tidak hidup lagi. Sitor menggunakan metodenya yaitu dengan mempermainkan bentuk tersebut dengan memakainya seketat-ketatnya untuk mempertajam efeknya sebagai ironi. Pemakaian bentuk lama ini jelas pula memperlihatkan betapa mahirnya Sitor sebagai seorang sastrawan.

Sifat yang menonjol dalam sajak ini adalah struktur lariknya., setiap larik terdiri atas empat satuan kata umumnya. Sitor mempunyai konvensi yang khas, yaitu :
a.Kata yang terdiri atas sebuah suku kata did an ke (preposisi) tidak dihitung sebagai kata.
b.Kata tak dianggap sebuah kata (larik 10).
c.Dalam hal pergandaan ada ambiguitas: laki-laki (larik 12) merupakan sebuah satuan, sedangkan bertanya-tanya (15 dan 21) dihitung sebagai dua satuan.
Yang menonjol pula dalam sajak ini kecenderungan untuk pembagian larik, secara maknawi, dalam dua satuan masing-masing terdiri atas dua satuan atau kata, kecenderungan yang kita kenal baik dari sajak melayu klasik.
Dari segi rima A. Teuw berpendapat bahwa unsur ini tidak dominan, walaupun itu tidak berarti bahwa rima tidak ada. Rima akhir pada prinsipnya ada, dengan dua pola a-b-a-b dan a-a-b-b tetapi rima ini tidak kuat, tidak secara optimal memanfaatkan kemungkinan Bahasa Indonesia. Pada bait kelima ada penyimpangan dari pola rima akhir (a-a-b-a), sedangkan dalam bait ketujuh dan kedelapan rima itupun agak lemah.

Disini tampak jelas bahwa A. Teuw menggunakan pendekatan objektif dalam mengkritik karya Sitor situmorang, setelah mengupas dari sisi bentuk, larik, dan rima kemudian pak Teuw membahas lebih dalam lagi mengenai segi irama. Sajak si anak hilang ini terdapat sebuah gejala kesejajaran bunyi yang membuat adanya asonansi atau altirelasi: larik ½ terik- tengah – titik – rimbul; baris 9 asonansi a-u; larik 28 ingin dingin; baris 35-36 aliterasi pantai – pasir. Hal itu menandakan bahwa segi irama tidak banyak variasi, kemonotonan diseluruh sajak ini. Gambaran umumnya awalan yang bervokal pepet tidak mempengaruhi struktur tekanan kata, sedangkan akhiran yang selalu mempunyai vocal penuh (a atau i) mengubah struktur tekanan kata.

Kemonotonan larik itu juga diperkuat karena tidak adanya enjambemen yang sunguh-sunguh, ada beberapa contoh dimana sebuah larik tidak merupakan sebuah satuan semantik yang lengkap. Namun, masing-masing mempertahankan keotonoman puitisnya, tidak perlu membaca melompat dari larik ke larik sambil menyambungnya, dia dapat berhenti pada setiap larik tanpa menggangu pemahaman sajak.

Menarik perhatian pula kata-kata yang dihubungkan dengan pelaku utama dalam sajak ini, si anak tidak dikualifikasi oleh suatu kata sifat manapun juga. Perannya hanya secara pasif mengalami segala kejadian, tanpa emosi apapun juga; dia, tiba, duduk, berdiam, memandang, mengenang lupa tetapi kegiatan manapun juga tidak dilakukannya sangat bertentangan dengan ibunya yang secara aktif menghadapi kedatangan anaknya dan menghayati segala emosi yang diharapkan dari seorang ibu misalnya: cemas dan berlari ( pada bait pertama baris ketiga), pandangannya berlinang air mata (bait kedua baris kedua), anaknya dipeluk (bait kedua baris keempat) dan ia gundah (bait ketiga baris ke ketiga).

Struktur makna sangat dominan dalam pengupasan A. Teuw di dalam sajak ini, karena strutur ini penuh dengan kesejajaran. Beberapa kali ada gejala yang dapat mengingatkan pembaca pada pantun berkait, walaupun dengan variasi ulangan yang berbeda, misalnya 1, 2, dan 5 titik perahu……dan perahu titik. Cerita si anak hilang, tragedy manusia terasing, manusia yang kehilangan komunikasi dengan masyrakat asalnya. Suatu tragedi yang sudah tentu oleh manusia Sitor Situmorang dialami dan dihayati dalam berbagai tahap hidupnya.

Makna kata anak dalam sajak ini menjadi sorotan yang tajam. Dalam setiap bait kata anak dipakai satu kali (tidak kurang dan tidak lebih) seakan-akan untuk memusatkan perhatian pembaca. Analisis dari bait ke baitnya: bait pertama dan kedua melukiskan kedatangan si anak dan pertemuan dengan ibunya, dalam bait ketiga terjadi konfrontasi dengan bapak yang sudah acuh tak acuh lagi. Bait keempat dan keenam si anak mulai diperhadapkan dengan masyarakat desa dan ditengah-tengahnya, yang berarti pula ditengah-tengah sajak seluruhnya. Bait kelima jika kita kita analisis dengan teliti bait merupakan klimaksnya atau puncak dari sajak ini. Pada bait ketujuh dan kedelapan terjadi konfrontasi kedua dengan ibu yang jelas paling dekat, paling tersangkut dalam kedatangan anak itu dan akhirnya bait yang kesembilan merupakan kesimpulan. Kesimpulan itu berisi komunikasi dengan ayah dan ibu sudah tidak ada lagi, dan hanya alam dan gelombang saja yang dapat menarik kesimpulan. Itu terkesan mengandung makna si anak itu sudah pergi untuk selamanya, ia tidak bisa berkomunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.

Akhir dari cerita dalam sajak ini anak yang hilang itu ditemukan lagi, dia pulang di antara nenek-moyangnya, sebagai anggota marga sejati. Ternyata Sitor sangat pintar memainkan kata-katanya sehingga kita tidak mudah untuk menebak alur ceritanya. Kecerdikan ini membuat A. Teuw merasa sedih karena beliau kehilangan rahasia dari puisi itu. Ia salah persepsi dengan jalur cerita yang di buat oleh pengarangnya.

Dari keseluruhan esai yang dibahas oleh A. Teuw, beliau selalu membandingkan karya sastra yang dibahas dengan karya sastra yang lainnya. Itu beliau lakukan untuk menganalisis baik dan buruknya suatu karya sastra. Sehingga terjadi perkembangan di dunia sastra kelak.
Adapun beberapa aspek yang terdapat dalam seai A. Teuw, uaitu aspek emotif, aspek kognitif, dan aspek evualitif. Aspek emotif dapat kita jumpai pada peran tokoh utama itu sendiri. Peran tokoh utama hanya pasif sedangkan yang aktif adalah ibunya yang ditandai dengan kelakuan atau tindakan yang dilakukan oleh ibu. Sedangkan aspek koginitifnya saya peroleh dari struktur sajak itu karena penuh dengan kesejajaran makna. Sedangkan aspek evaluatif tersebar di seluruh sajak ini.

Kesimpulan yang dapat saya tangkap bahwa A. Teuw terkelabuhi terhadap permainan kata-kata dari Sitor. Menurut A. Teuw ending dari sajak ini yaitu si anak tidak akan kembali lagi atau akan pergi selama-lamanya tetapi konsep Sitor Situmorang anak yang hilang itu ditemukan lagi, dia pulang di antara nenek-moyangnya, sebagai anggota marga sejati.


Tidak ada komentar:

Searching