Senin, 16 November 2009

SASTRA DAN MASYARAKAT

      1. Hubungan

Pada umumnya, pengarang juga merupakan warga masyarakat dimana ia berdomisili. Banyak karya-karya sastra yang menngungkapkan perasaan masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat lebih bersifat deskriptif, simbolik, dan bermakna.


      1. Konsep

Sastra merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra seperti pada sastra tradisional yaitu simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun kadang karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair merupakan warga masyarakat yang memiliki status khusus. Penyair mendapatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai massa walaupun secara teoritis. Dari aktifitas manusia yang saling berkaitan inilah dapat dilihat hubungan antara cara produksi dengan sastra.


3. Ciri-ciri

  1. Sastra dipelajari sebagai dokumen sosial dan potret kenyataan sosial sebagai suatu pendekatan.

  2. Sastra terjadi dalam konteks sosial.

  3. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan bermasyarakat.

  4. Sastra hanya berkaitan secara tidak langsung dengan situasi ekonomi, politik, sosial yang konkret.

  5. Memakai istilah-istilah yang mengacu pada integrasi sistem budaya dan keterkaitan antara berbagai aktivitas manusia.

  6. Aktifitas, pernyataan dan keputusan dalam hidup pengarang tidak boleh dicampuradukkan dengan implikasi sosial karya mereka.




    1. Manfaat

  1. Menunjukkan apa peran kelompok-kelompok dalam masyarakat terhadap sastra.

  2. Mendikte kaitan dan dampak yang seharusnya ada.

  3. Membuat pengkhususan dan klasifikasi.

  4. Mengetahui bagaimana cerminan proses sosial.

  5. Sebagai dokumen sosial yang dipakai untuk mengutaikan ikhtisar sejarah sosial.


    1. Tokoh

  1. P.N. Sakulin

Yang membahas sastra Rusia berdasarkan perbedaan yang teliti antara sastra petani, kaum borjuis, alangan intelek demokratis, dan kelompok-kelompok lain termasuk kelas proletar yang revolusioner.

  1. Tomars

Memformulasikan tentang permasalahan studi sastra yang menyiratkan atau merupakan masalah sosial.

  1. Ashley Thomdikc

Yang menegaskan tentang konsep cetakan abad ke sembilan dengan menonjolnya spesialisasi.

  1. Kohn-Bramsdedt

Mengungkapkan tentang pengetahuan struktur masyarakat yang dapat menyelidiki reproduksi sosial dalam karya sastra.

  1. Eidinburg dan Quarterly

Membantu sastra menjadi institusi yang mandiri dengan munculnya resensi buku hasil karya mereka.

  1. Scoot dab Byron

Mempengaruhi selera dan opini masyarakat pada abad ke-19.





    1. Contoh

Didalam Roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli muncul adat Minangkabau yang sangat kuat. Suatu adat yang tidak bisa dilupakan oleh Samsul Bahri walaupun ia harus menempuh pendidikan di luar pulau. Selain hal diatas, dalam Roman Siti Nurbaya juga terdapat stratifikasi sosial. Kekuasaan diktator para penjajah membuat rakyat biasa menjadi tertekan dalam kesehariannya.

SASTRA DAN PEMIKIRAN

    1. Hubungan

Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Sampai sekarang, karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat.


    1. Konsep

Pada masa lalu banyak studi sastra yang menerapkan metode diatas secara berlebihan. Ulcirici misalnya meringkas inti drama Merchant of Venice menjadi Summum Jus Sunma Injuria. Meskipun sekarang ilmuwan telah jenuh mengorek hal-hal ilmiah dari karya sastra. walaupun demikian hal di atas membuat pemahaman kita terhadap keunikan karya sastra akan kacau kalu kita meringkas karya sastra menjadi pernyataan-perntaan doktrin.

Karya sastra memang bisa dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya. Terkadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan paham-paham yang dominan pada zamannya, atau setidaknya mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut. Pada hakekatnya, sastra sendiri mempunyai aliran-aliran yang dibangun dari pemikiran-pemikiran tertentu. Maka dari itu, sastra dan pemikiran membangun suatu keterkaitan.

Beberapa puluh tahun yang lalu para filsafat seperti Lovejoy membuat teori tentang sejarah pemikiran, teori yang kemungkinan terdapat perbedaan unsur filsafat dengan karya sastra. Kemudian Dilthey melihat adanya tiga tipe dalam sejarah pemikiran pertama, positivisme yang berasal dari pemikiran Democritus. Kedua, idealisme objektif dan yang ketiga adalah idealisme dualistik. Dengan adanya teori tentang sejarah pemikiran tersebut secara tidak langsung dapat membantu pemahaman sastra.



    1. Ciri-Ciri

      1. Dibuktikan atas dasar penelitian tentang ideolodi sastra.

      2. Sastrawan seringkali mempunyai afiliasi sosial dan latar sosial yang berbeda dengan filsuf.

      3. Seringkali dianut oleh kelas tertentu yang merupakan kelas sastrawan.

      4. Hubungan yang padu diperkuat dengan penciptaan karya sastra yang sebenarnya.

      5. Sastra bukan dinilai sebagai pengganti filsafat.


    1. Manfaat

  1. Sejarah pemikiran secara tidak langsung dapat membantu memperdalam pemahaman karya sastra.

  2. Memperluas khasanah filosofis dalam kaitannya dengan suatu karya sastra.

  3. Dalam konteks tertentu dapat menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai artistik penting.


    1. Tokoh

  1. Dilthey

Membedakan pemikiran-pemikiran dan pengalaman dalam menyusun sejarah sastra.

  1. Lovejoy

Mengungkapkan perbedaan metodenya dengan sejarah filsafat.

  1. Rudolf Unger

Yang menyatakan bahwa sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan, tapi ekspresi suatu bentuk sikap.

  1. Leo Spitzer

Menolak berbagai aspek teori Lovejoy.






    1. Contoh

Gabungan puisi dan fisafat terlihat pada karya penyair-penyair pemikir seperti Empocles di Yunani pada masa sebelum Socrates, dan pada zaman Renaisans ketika Ficiano atau Giardano Bruno menulis puisi dan filsafat. Filsafat yang puitik atau puisi filosofis. Atau puisi romantik Inggris yang berkembang pada saat filsafat Inggris dan Skotlandia didominasi oleh filsafat.

SASTRA DAN BIOGRAFI

  1. Hubungan

Pengarang merupakan sebab utama lahirnya suatu karya sastra. Oleh sebab itu, penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang dalam kajian teori sastra sangatlah penting karena sudah menjadi suatu metode yang sangat mapan. Adanya biografi pengarang dapat memberi masukan tentang penciptaan karya sastra.


  1. Konsep

Biografi adalah genre yang sangat kuno. Awalnya biografi masuk dalam bagian historiografi, tetapi setelah pendapat Coleridge muncul biografi mulai terpisah dari historiografi. Biografi tidak hanya bernilai memberikan masukan tentang penciptaan karya sastra, tetapi biografi juga dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental dan, intelektualnya. Biografi merupakan penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang yang mengaburkan pemahaman proses sastra, karena tradisi sastra dipecah-pecah menjadi sejumlah siklus hidup pengarang. Pada masa yang lalu, para penyusun biografi kesulitan mencari jejak kehidupan para pengarang karena minimnya bukti yang ada. Tetapi saat ini bukti biografis penyair sangat banyak. Pengarang biografi saat ini dengan sengaja meninggalkan pernyataan-pertanyaan otobiografis, sehingga kerja dalam penyusunan biografi menjadi lebih mudah. Penyusunan biografi ini yaitu bisa dengan menginterpretasikan dokumen, surat, laporan, saksi mata, ingatan, dan pernyataan otobiografis yang asli dan dapat dipercaya.

Ada dua pertayaan yang harus dijawab dalam pembuatan biografi pengarang. Yang pertama, sejauh mana penyusun biografi tersebut dapat memanfaatkan karya sastra sebagai bahan atau pembuktian? Kedua. Sejauh mana biografi itu relevan dan penting untuk memahami karya sastra.



  1. Ciri-ciri

    1. Tidak membedakan profesi seperti negarawan, jenderal, arsitek, ahli hukum, dan penganggur. Pengarang dianggap sebagai orang biasa yang memiliki perkembangan moral, intelektual, karir, dan emosi yang bisa direkonstruksi dan dinilai berdasarkan standar tertentu (sistem nilai etika dan norma-norma perilaku tertentu).

    2. Memberi masukan tentang penciptaan karya sastra.

    3. Bentuknya fakta.

    4. Mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental dan intelektualnya yang menarik.

    5. Pernyataan yang bersifat otobiografis dengan penggunaan motif yang sama pada karya sastra belum tentu nerkaitan secara langsung. Perlu adanya penginterpretasian yang lebih dalam.

    6. Biografi tidak dapat menambah atau mempengaruhi penilaian kritik sastra.


  1. Manfaat

    1. Untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra.

    2. Membantu kita mempelajari masalah pertumbuhan, kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang.

    3. Menjelaskan tradisi yang berlaku di daerah pengarang serta pengaruh yang didapatkan sebagai bahan-bahan yang dipakainya dalam karya sastra.

    4. Menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya.

    5. Mengumpulkan bahan untuk menjawab masalah sejarah sastra.


  1. Tokoh

    1. G.W. Meyer

Yang menunjukkan bahwa apa yang bersifat otobiografis dalam suatu karya sastra belum tentu sama persis dengan kehidupan pengarang yang sebenarnya.


  1. Coleridge

Tokoh yang mengemukakan pendapat bahwa setiap kehidupan walaupun tidak ada artinya bila diceritakan secara jujur, pasti akan menarik.

  1. Caroline Surgeon

Peneliti mencritaan Shakespeare. Dari penuturan ini diketahui bahwa ada sejumlah daftar yang kurang berarti.

  1. T.S. Eliot dan Keats

Penyair yang menekankan negatif capibility (kemampuan membuat negasi), keterbukaan pada dunia, dan penghilangan diri pengarang.



  1. Contoh

Dari beberapa karya Shakespeare sepertinya tampak kegembiraan ketika menulis drama komedi. Tetapi kita tidak dapat mengetahui kejadian yang sebenarnya, apakah Shakespeare terdapat raut kesedihan di wajahnya atau tidak. Ini disebabkan karena jejak kehidupan pribadi Shakespeare yang sulit ditelusuri. Maka daripada itu pentingnya sebuah hubungan antara biografi dengan sastra agar kita mengetahui pribadi pengarang sewaktu menciptakan hasil karya sastranya.


TEORI OBJEKTIF

1. Pengertian

Hakikat karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang sastrawan dengan kehidupan secara faktual. Hasil rekaan manusia itu lebih tinggi nilainya dari kenyataan, karena sastrawan tidak begitu saja meniru atau meneladani kenyataan. Oleh karena itu, dalam memahami karya sastra hendaknya pembaca mengenal berbagai macam teori, yang salah satunya berupa teori objektif yang akan kita bahas di bawah ini.

Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.


2. Ciri-ciri

Ciri-ciri yang terdapat dalam teori objektif adalah:

  1. Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

  2. Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji suatu karya sastra.

  3. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku.

  4. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.

  5. Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view.

  6. Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya sastra, maka unsur-unsur pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.


3. Metodologi

Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan adanya cara untuk mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula pendekatan dan penilaian secara objektif.

Pendekatan objektif (pendekatan struktural) adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan, dan memandang karya sastra adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.

Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang dapat berupa pararelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya yang lebih luas seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain.

Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak dengan pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara objektif itu, menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada adanya :

  1. Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpapar melalui jalan seni, imajinasi maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kasatuan yang utuh, selaras, serta padu dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas, harmony, dan unity.

  2. Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat texture serta penataan unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada adanya consonantia dan klantas.

Dari adanya sejumlah kriteria di atas memang pada dasarnya seseorang dengan mudah dapat menentukan bahwa sebuah bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi, satu hal yang harus diingat, bacaan berupa teks sastra itu tidak selamanya mengandung nilai-nilai sastra.

Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).


4. Sejarah

Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa mencuatnya pendekatan struktur tidaklah lepas dari peranan kaum Formalis. Maka, kaum Formalis dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan pendekatan ilmu modern. Ciri khas penelitian sastra kaum Formalisme ialah penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini, nilai estetik suatu karya sastra seperti yang dikemukakan oleh tokoh utamanya Jacobson, adalah didasarkan pada poetic function yang diolah berdasarkan kode metrum, rima, macam-macam bentuk paralelisme, pertentangan, kiasan, dan sebagainya. Dengan kata lain, Jacobson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.

Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Telaah semacam inilah yang ditekankan oleh kaum strukturalisme.


5. Tokoh dan Konsep

1) Aristoteles

Telah diperkenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Suatu penilaian dikatakan objektif bila penilaian itu bertolak dari suatu nilai atau konvensi yang terlepas dari segi pembaca. Sehingga, nilai itu adalah nilai yang ada dalam teks sastra, dan bukan nilai yang ada dalam opini pembaca itu sendiri.

2) Taine

Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan.

3) Jacobson

Jacabson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.

4) Ferdinand de Saussure

Pendekatan struktur secara langsung atau tidak langsung sebenarnya banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, yang intinya berkaitan dengan konsep sign dan meaning (bentuk dan isi).

5) Luxemburg

Luxemburg memiliki konsep signifiant- signified dan paradigma- syntagma. Pengertiannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsure pemberi arti dan yang diartikan. Dari dua unsur itulah akan dapat dinyatakan sesuatu yang berhubungan dengan realitas. Karena itu, untuk memberi makna atau memahami makna yang tertuang dalam karya sastra, penelaah harus mencarinya berdasarkan telaah struktur, yang dalam hal ini terefleksi melalui unsure bahasa.

6) Terry Eagleton

Mengungkapkan bahwa setiap unit dari struktur yang ada, hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut bisa merupakan hubungan pararelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut dalam menghadirkan makna secara keseluruhan.















DAFTAR PUSTAKA


Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Santosa, Puji. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Nusa Indah.










BENTUK SIMBOLIK DALAM PUISI ACEP ZAMZAM NOER

BENTUK SIMBOLIK DALAM PUISI ACEP ZAMZAM NOER

YANG BERJUDUL “ SEPAKBOLA”

Adiel Kundhara (306212403140)


Acep Zamzam Noor telah menghasilkan ribuan sajak yang indah untuk kita pahami. Penggunaan diksi yang tepat dan menarik membuat puisi ini memiliki nilai estetik yang tinggi. Simbol, pilihan kata dan makna merupakan karakter kuat dari Acep Zamzam Noor. ketiga hal tersebut perlu dianalisis untuk mengetahui pesan yang disampaikn oleh pengarang. Sajak sepakbola ini merupakan sajak yang mengusung tema kesedihan ini dapat kita lihat karena adanya lambang dan simbol dari sebuah penderitaan, air mata dan kematian. Inti dari sajak ini ialah perjalanan sang pengarang di hari akhir hidupnya dimana kematian tidak bisa kita helak sebab sudah ada yang mengaturnya.


Kata kunci: simbol, pilihan kata dan makna


Pada tanggal 28 Februari 1960, Indonesia melahirkan seorang sastrawan yang hebat bernama Acep Zamzam Noor. Anak asli Tasikmaya ini menyulap negara kita menjadi negara yang maju dalam bidang seni sastra khususnya. Banyak coretan-coretannya yang telah dimuat di media masa baik dalam negeri maupun luar negeri misalnya Italia.

Selain menulis puisi beliau juga ahli dalam melukis berpameran. Kota Utrech (Belanda) dan Ipoh (Malaysia) membuat namanya semakin berkibar. Prestasi segudang telah diraihnya tentunya dibutuhkan kerja keras supaya karya yang dihasilkan benar-benar maksimal atau memiliki nilai yang tinggi.

Puisi Sepakbola adalah salah satu puisi yang ia ciptakan pada tahun 2005. Di dalam puisi ini terlihat unsur diksi yang paling menonjol. Keindahan perpaduan simbol dan makna menjadikan daya tarik tersendiri pada puisi Acep Zamzam Noor ini. Sehingga saya ingin menganalisnya supaya makna keseluruhan dari puisi ini dapat saya tangkap.

Pilihan kata yang luas tetapi selaras dengan makna sangat berpengaruh penting pada puisi, karena puisi itu besar dari kata. Keindahan dalam suatu karya sastra itu pertama akan terlihat dari permainan kata yang digunakan oleh pengarang atau biasa kita sebut dengan diksi. Semakin luas cakupan dari pilihan kata pengarang akan semakin tinggi pula nilai suatu karya tersebut. Kata disini masuk bagian unsur interistik yang dapat mempercantik bentuk fisik puisi.

Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraselogi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraselogi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokkan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik tinggi.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi bersifat asosiatif. Keterkaitan lambang dan simbol yang digunakan oleh pengarang merupakan keadaan jiwa atau emosi yang dialami oleh sang pengarang tersebut. Diperlukan skemata yang tinggi serta perasaan terjun langsung ke dalam alur puisi itu untuk mengetahui segi makna.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa diksi bertujuan pertama, mencakup pengertian kata-kata mana yang dipkai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi dalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki pembaca. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Sepakbola

Di usianya yang ke-45, lelaki itu menuliskan sejumlah kata

Pada secarik kertas, yang tergantung bimbang

Di rangkaian kembang. ”Aku merindukanmu

Seperti merindukan Inne Ratu, dulu

Ketika seluruh langit masih biru”


Saat itu hampir senja, keloneng becak di simpang tiga

Lampu redup sekitar pos ronda, dan sebuah beringin tua

Runtuh di halaman TK. Lelaki itu memandang ke mulut gang

Ke deretan rumah dan madrasah, hingga sebuah kelokan

Yang telah menyembunyikan seseorang


Di usianya yang ke-45, kata-kata yang pernah dirangkainya

Terus bergema di rongga dada, memukul-mukul iga

Di antara batuk dan asma. ”aku mencintaimu

Seperti mencintai Inne Ratu, dulu

Ketika merasa tak ada masalah dengan waktu”


Waktu adalah gelanggang olahraga, nampaknya:

Banyak lapangan, banyak permainan, tapi selalu berujung

Pada kalah dan menang. Kemudian lelaki itu berjalan, sendiri

Ke arah stadion, melewati jalan yang remang

Ia bermain sepakbola melawan sepi


Pada awal puisi ini Acep Zamzam Noor menirukan struktur seperti pada fabel atau dongeng, dengan menekankan setting waktu untuk memulai pengungkapan perasaannya. Dimulai dengan suasana hati yang tak bersahabat bimbang, pengarang merasa diakhir masa hidupnya karena telah mempunyai umur yang serasa tahun kemerdekaan bangsanya. Rasa bimbang tersebut dibarengi dengan rangkaian kembang dimana kita ketahui kembang yang juga bersinonim dengan bunga selama ini identik dengan sesuatu yang indah. Tetapi tak kita sadari kembang juga berhubungan dengan suatu kematian. Rangkaian kembang biasanya diberikan oleh orang-orang yang dekat dengan almarhum. sebagai tanda penghormatan terakhir sebelum jenasah dikebumikan.

”Aku merindukanmu

Seperti merindukan Inne Ratu

Sang pengarang merindukan seseorang yang selama ini dekat dengan dia. Ia menggunakan perbandingan antara yang dirindukan oleh pengarang dengan Inne Ratu. Tetapi terdapat kesamaan diantara kedua-duanya. Sayangnya dibelakang dibumbui dengan kata dulu ketika seluruh langit masih biru. Tampak eufimisme hadir dalam sajak ini dari dulu hingga sekarang langit berwarna biru, karena sebelumnya sudah menjurus kearah kematiaan, sehingga Acep menganggap langit sudah berwarna hitam karena ajal tak lama lagi akan datang kepadanya.

Saat itu hampir senja, keloneng becak di simpang tiga

Lampu redup sekitar pos ronda, dan sebuah beringin tua

Runtuh di halaman TK.

Pengarang mencoba mempengaruhi pembaca dengan menekankan segala rentetan kejadian. Pembaca seolah-olah ikut berada di tempat kejadian waktu itu. Lampu redup sekitar pos ronda dilanjutkan dengan sebuah beringin tua runtuh di halaman TK. Bencana telah terjadi, segala masa lalunya telah berakhir hal ini tampak pada penggunaan kata TK. TK yang merupan kependekan dari taman kanak-kanak merupakan cerminan atau potret pengarang saat dia masih kecil hingga dewasa.

Terus bergema di rongga dada, memukul-mukul iga

Di antara batuk dan asma. ”aku mencintaimu

Bait ketiga Acep mencoba memadukan salah satu organ tubuh dengan suatu aktivitas yang dilakukan oleh indera lain. Rongga dada dipadukan dengan suara bergema yang biasanya ditangkap dengan indera pendengar dan iga yang dikaitkan dengan tindakan dari indera peraba yaitu pukulan.

dulu

Ketika merasa tak ada masalah dengan waktu”


Segala musibah yang akan dialaminya sebentar lagi akan terjadi. Batuk dan asma merupakan lambang dari sebuah awal sebab-akibat. Dan pengulangan kata harapan itu hanyalah sebuah pengalihan suasana saja.

Waktu adalah gelanggang olahraga, nampaknya:

Banyak lapangan, banyak permainan, tapi selalu berujung

Pada kalah dan menang. Kemudian lelaki itu berjalan, sendiri

Ke arah stadion, melewati jalan yang remang

Ia bermain sepakbola melawan sepi


Bait terakhir ini merupakan sebuah plesetan dari pengarang sebagai patokan untuk dijadikan judul. Kadang kita dalam menempuh hidup ini ada susah dan senang. Dua hal yang selalu beriringan dan akan dijumpai oleh manusia. Tak ada sesorang yang hanya menemukan satu diantara kedua hal tersebut dalam kesehariannya. Teman merupakan sesuatu yang indah yang dimiliki oleh pengarang, jikalau kita tanpa orang lain kita tidak bisa hidup.

Didalam filsafat ada filosofi yang berbunyi ada terang ada padam, ada hidup ada kematian. Kematian atau kesedihan merupakan suatu kondisi yang tidak bisa kita pungkiri. Tuhan telah menciptakan sedemikian rupa, bukannya kita lantas memaki Tuhan, tetapi dibalik semua ini ada sesuatu yang indah yang akan diberikan-Nya. Demikianlah pesan yang terkandung dalam sajak Acep Zamzam Noor yang berjudul Sepakbola ini yang bisa saya tangkap.































DAFTAR RUJUKAN


Aminuuddin.1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang : IKIP Semarang Press

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Muljana, Slamet. 1969. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende : Nusa Indah

Ulmann, Stephen. 1981. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford : Basil Blackwell

Zamzam Noor, Acep. 2007. Menjadi Penyair Lagi. Bandung : Pustaka Azan.

PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK

Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah yang rumit banyak faktor dan kondisi yang melilit persoalan linguistik. Faktor pertama adalah kemajemukan bangsa yang berarti juga kemajemukan budaya dan bahasa. Ada tiga masalah yang dihadapi dan masing-masing memerlukan kebijakan. Ketiga masalah itu ialah masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah , dan masalah bahasa asing. Faktor kedua ialah keberagaman bahasa daerah dalam jumlah yang sangat besar. Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh ribuan suku dan budaya, diperkirakan 500 bahasa daerah terdapat di negara kita ini. Oleh karena itu, masalah yang timbul ialah mengenai pembakuan bahasa. Faktor ketiga ialah faktor kontak bahasa. Masalah yang timbul akibat kontak bahasa tersebut yakni masalah timbulnya campur kode dan interferensi. Tampubolon mengemukakan perlu adanya adopsi dan importasi. Adopsi adalah proses pengambilan dan penggunaan kosakata bahasa daerah secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Alasan utama mengadakan adopsi dan importasi ialah tidak adanya kosakata yang tepat dalam bahasa bersangkutan untuk menyatakan suatu ide. Sedangkan alasan lain ialah (1) untuk membentuk suatu ragam khusus, (2) untuk tujuan eufimismistis atau gaya topeng. Sedangkan gejala importasi berlebihan ialah proses pemasukan dan penggunaan kosa kata bahasa asing secara tidak atau kurang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri, sehingga sering membingungkan. Alasan lain adanya importasi ialah (1) pengaruh hubungan bisnis luar negeri sebagai alasan yang paling kuat dan (2) gengsi sebagai alasan yang kurang kuat. Dampak dari importasi berlebihan ialah alienasi bahasa, kerancuan struktural, dan kerancuan kognitif. Faktor keempat adalah sikap mental anggota masyarakat Indonesia yang negatif. Sikap negatif yang menonjol ialah (1) penggunaan unsur asing yang tidak perlu (2) penggunaan bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah : kaidah ucapan, kaidah bentukan kata, kaidah bentukan kaliat, kaidah ejaan dan tanda baca.masalah terakhir ialah penggunaan bahasa asing yang terkesan fanatisme berlebihan. Kebijakan bahasa dapat dikatakan sebagai garis haluan yang menjadi dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan kebahasaan. Kebijakan menganai bahasa nasional dimulai pada sumpah pemuda. Alasan dari kebijakan ini (1) embrio bangsa Indonesia sudah mampu menentukan sikap politik yang penting dalam memikirkan negara (2) penentuan bahasa Indonesia itu menunjukkan wawasan yang luas dan jauh ke depan masyarakat Indonesia, khususnya pemuda dalam memikirkan masa depan bangsa. Fungsi bahasa nasional (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakanh sosial budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda, ddan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Kebijakan tentang bahasa negara terjadi pada tahun 1945. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kebijakan tentang bahasa daerah dapat dilihat pada penjelasan UUD 1945 pasal 36. Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Kebijakan mengenai bahasa asing berfungsi (1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional. Kebijakan tentang kelembagaan dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa yang bertugas melaksanakan penelitian, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dibantu oleh UPT yang disebut Balai Bahasa. Kebijakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dideskripsikan, bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai kaidah kebahasaan :ucapan, kosakata, gramatika dan ejaan. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks penggunaan : partisipan, situasi, media, topik, waktu dan tempat.

Perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. Target terpenting dalam perencanaan bahasa Indonesia ialah pembakuan. Pembakuan adalah Proses pengangkatan satu ragam bahasa menjadi ragam yang diterima secara meluas di kalangan masyarakat bahasa sebagai ragam supradialektal sebagai bentuk “terbaik” di atas dialek-dialek local dan sosial. Bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan dinamis. Fungsi dari bahasa baku yakni fungsi pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda tempat tertinggi atau gengsi tertinggi, dan fungsi kerangka acuan atau ukuran untuk menentukan ketepatan penggunaan bahasa. Pengembangan kosakata dapat berupa hilangnya kata dari penggunaan, munculnya kata lama dalam penggunaan baru, munculnya kata dengan makna yang baru, munculnya kata baru, dan munculnya kata dengan bentukan baru. Terdapat empat stategi dalam pemekaran sumber bahasa sendiri yakni pemerian makna baru, terhadap kata yg sudah ada, pengaktifan kembali unsur lama yang sudah mati, penciptaan bentukan baru, dan penciptaan akronim. Pemekaran bahasa yang serumpun memiliki kemudahan karena kesamaan atau kemiripan sistem fonologis, morfologis dan sintaksis. Sedangakan untuk bahasa asing syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai dasar pemekaran adalah istilah asing lebih cocok karena konotasinya, karena cocok konotasinya, istilah asing memudahkan pengalihan antarbahasa mengingat keperluan masa depan serta memudahkan tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya. Dari cara membentuk istilah dari bahasa asing, langkah-langkah berikut merupakan urutan, penerjemahan, adaptasi lalu adopsi.

MODEL FUNGSIONAL DALAM SOSIOLINGUISTIK

Sebelum kita mengenal atau mendeskripsikan lebih jauh mengenai model-model yang terdapat dalam sosiolinguistik, hendaknya kita lebih mengerti terlebih dahulu definisi dari model itu sendiri. Model adalah Suatu representasi yang disederhanakan atau diidealkan terhadap sesuatu yang dianggap relevan dari system atau realita yang akan dideskripsikan. Dalam bidang sosial, model terbagi atas (1) model yang melukiskan sifat atau gejala tanpa mendeskripsikan huibungan antargejal tersebut, (2) model yang melukiskan hubungan antargejala. Namun model tersebut juga memiliki beberapa kelemahan, yakni : (1) terlalu banyak memberi tekanan kepada simbol sehingga seringkali tidak dapat menggambarkan suatu gejala dengan akurat, terutama dalam bidang kajian humaniora, (2) terlalu mementingkan bentuk dan keajegan, simplifikasi, dan menggambarkan gejala hanya sebagai peta sehingga cenderung gambaran yang diperoleh tidak tepat atau tidak akurat baik perihal konsep-konsep maupun hubungan antarkonsep yang digambarkannya. Jenis model berdasarkan fungsinya dibagi atas tiga tipe (deskriptif,prediktif dan normatif), berdasar ciri strukturnya (ikonik, analog dan simbolik), berdasar ciri waktu (statik dan dinamik), berdasar ciri pasti-tidak pasti (deterministik,probabilistik, dan tipe permainan) berdasar ciri umum-khusus (umum dan khusus), serta model cara lain yakni (fisik, semantik, dan model interpretatif). Model bahasa cenderung bertipe simbolik sehingga lebih kearah abstrak, selain itu model bahasa juga cenderung memanfaatkan bukti-bukti isomorfomis sehingga memudahkan pengkaji bahasa untuk memanipulasi variabel-variabel serta merevisi model itu sendiri. Dalam ilmu sosiolinguistik kajian bahasa cenderung mengarah pada perangkat tingkah lau oleh karena itu, Samsuri mengidentifikasi kartekteristik model dengan tiga kategori dasar yakni definisi bahasa, semestaan bahasa dan tingkat-tingkat keilmubahasaan. Model tradisional berkembang pada saat fisofof Yunani kuno. Menurut mereka, bahasa adalah tanda pikiran dan gagasaan, sedangkan kemestaan bahasa tidak terstruktur pada zaman ini, semua gagasan tentang bahasa haruslah taat pada azaz dan menyesuaikan diri dengan apa saja yang terdapat dalam bahasa Yunani kuno tersebut. Tingkat-tingkat keilmubahasaan terbatas pada tulisan, morfologi dan sintaksis. Model struktural berkembang karena adanya buku karangan Ferdinand de Saussure. Model ini menganggap bahasa adalah sebagai suatu lambang yang arbriter yang dipakai untuk menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan untuk berinteraksi dan berkooperasi. Model transformasi menganggap bahasa adalah susunan unsur-unsur yang terbatas jumlahnya yang penyusunannya diatur oleh kaidah-kaidah yang terbatas pula jumlahnya, menjadi kalimat-kalimat yang secara teoritis dan praktis terbatas jumlahnya.

Model teori informasi digagas oleh Shanon dimana ia menjelaskan mengenai adanya repertoire (gangguan) bahasa dalam proses komunikasi. Selanjutnya ia membagi repertoire itu menjadi repertoire umum (linguistik) dan individual (nonlinguistik). Model Antropologis mengkaji hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Sapir menangkap bahwa dunia nyata dalam banyak hal memang dibentuk secara tidak sadar oleh kebiasaan bahasa yang ada dalam suatu kelompok tersebut. Selanjutnya Sapir menjelaskan bahwa bahasa adalah metode mengkomunikasikan gagasan-gagasan, emosi serta keinginan yang bersifat manusiawi murni dan non-instingtif dengan menggunakan sistem simbol-simbol yang dihasilkan secara sukarela. Pada model sosialogis dijelaskan bahwa struktur sosial, peran dan kode hadir bersama-sama dalam peristiwa komunikasi yang dapat berubah baik sesuai dengan masyarakatnya, interaksi sosialnya, maupun linguistiknya. Sedangkan model psikologis lebih mengacu mengenai tingkah laku individu di dalam atau di antara struktur-struktur sosial serta pada saat individu itu menjadi partisipan proses sosial. Beberapa temuan model fungsional diantaranya model Bright, kekomplekan pengembangan model ini menuntut kreativitas untuk mengisi karakteristik identitas pembicara, mitra tutur dan latar peristiwa tutur. Model Brown dan Gilman ini dipakai untuk mengkaji kata ganti kedua dalam sekelompok bahasa di Eropa. Latar belakang yang sebagai penghubung dari penggunaan kedua kata ganti tersebut ialah hubungan kekuasaan dan keakraban. Keduanya bersumber dari realitas psikososial yang terdapat dalam suatu masyarakat. Model Ervin-Tripp menerapkan kaidah alternasi (pemilihan variasi atau bentuk bahasa dalam bertutur), kaidah kookurensi (kaidah yang mengatur pemakaian variasi bentuk bahasa), dan kaidah sekuensi (kaidah urutan yang mengatur giliran bertutur dalam suatu peristiwa tutur tertentu). Hymes menganggap adanya komponen tutur yang mempengaruhi peristiwa tutur yakni setting, paticipants, end, act sequences, keys, intrumentalities, norms dan genre. Model SPEAKING ini berguna untuk memerikan gejala-gejala bahasa seperti alih kode, interferensi, undausuk, gejala bilingualisme. Model Fishman lebih fokus terhadap lingkungan , lingkungan diartikan sebagai konteks institusional. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan mkkonteks institusional disebut kongruen, sedangkjan penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan konteks institusional disebut inkongruen. Kontruk sosial dapat diabstraksikan dari berbagai konteks yakni topik, hubungan antarpenutur-mitratutur dan lokasi. Model Bernstein menggambarkan hubungan antara tatanan simbolik khususnya sistem tutur, dengan struktur sosial pada anak-anak kelas pekerja dan anak-anak kelas menengah. Selanjutnya Bernstein membedakan antara tutur terbatas dengan tutur terjabar. Sifat tutur terbatas cenderung tertutup, sehingga anak-anak dapat mengekspresikan ide dengan mengandalkan pada unsur suprasegmental seperti intonasi, metafora dan paralingua, sedangkan tutur terjabar lebih terbuka. Pengambilan keputusan keluarga berorientasi pada posisi dan pribadi. Sedangkan cara pengontrolannya dapat berupa modus perintah atau modus himbauan.

ALIH KODE, CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI

Sebelum kita mengetahui mengenai hakekat alih kode dan campur kode, kita harus lebih paham benar konsep kode tersebut. Kode disini bukanlah kode yang mengarah ke unsur bahasa secara perspektif melainkan kode disini ialah varian yang terdapat dalam bahasa tersebut. Varian disini yang dimasudkan ialah tingkat-tingkat, gaya cerita dan gaya percakapan. Ada beberapa definisi hakekat mengenai alih kode tersebut, Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama. Sedangkan Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain. Sebagaimana kita bisa mencontohkan perlaihan yang terjadi dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, atau mungkin dari ragam resmi ke ragam yang tidak resmi atau sebaliknya. Dari contoh tersebut dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa dalam satu peristiwa komunikasi verbal. Pola alih kode dapat kita bagi menjadi dua yanitu berdasar linguistik maupun partisipan. Pola linguistik terdapat pola alih kode intrabahasa, yang dalam pola itu terjadi pada varian dalam satu bahasa. Sedangkan yang kedua ialah pola alih kode antarbahasa, dalam pola ini pilihan kode beralih dari varian suatu bahasa ke bahasa lain. Jika dilihat dari partisipan dapat dibagi menjadi dua kembali yakni dimensi intrapartisipan dan dimensi antarpartisipan. Faktor yang mengakibatkan terjadinya alih bahasa sosial, individu dan topik. Faktor sosial dapat kita pilah antara penggunaan bahasa partisipan dan status sosial. Faktor individu seperti yang dikemukakan oleh Wojowasito dilandasi oleh spontanitas, emosi dan kesiapan, yang dimaksud kesiapan disini ialah kesiapan perbendaharaan kata dan kesiapan pola kalimat.

Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang lebih besar. Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dengan campur kode ialah pertam alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kode mixing dalam bahasa Inggris. Kedua dalam alih kode ada kondisi yang menuntut penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, interferensi ialah Masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yg mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi yang pertama ialah faktor kontak bahasa disini bahasa-bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu saling berhubungan sehingga perlu digunakan alat pengungkap gagasan. Karena faktor tersebut maka terdapat interferensi performansi. Atau interferensi sistemis. Yang kedua ialah faktor kemampuan berbahasa yang akan mengakibatkan interferensi belajar muncul. Jika kita melihat dari segi unsur bahasa yang dikuasai terdapat interferensi progesif (interferensi terjadi dalam bentuk masuknya unsur bahasa yang sudah dikuasai ke bahasa yang dikuasai sebelumnya) dan interferensi regresif (masuknya unsur bahasayang dikuasai kemudian ke bahasa yang sudah dikuasai).

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

Awal terbentuknya bilingualisme terletak pada keberadaan masyarakat bahasa yang berarti masyarakat yang menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dari masyarakat bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru mengenai bilingualisme dan monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa. Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27) kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan. Penekanan bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta seorang penutur atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan kedwibahasaan. Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme setara yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi disini ialah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme ialah bahasa yang digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan mitra berbahasa.

Diglosia menurut Ferguson yakni fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Memiliki tipe rendah dan tinggi, tipe tinggi biasanya berhubungan dengan agama, pendidikan , dan aspek budaya yang tinggi sedangkan ragam rendah digunakan di rumah, pabrik dan sebagainya. Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda.diglosia dapat dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada masyarakat monolingual yang berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti dialek dan register, dan diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena pemilihan dan penggunaan salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fungsinya. Landasan dalam diglosia ini ialah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentukan pilihan bahasa diantara dua bahasa atau lebiih, bukan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa. Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan bahasa disini membandingakan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan situasi kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.

Ada empat tipe hubungan antara diglosia dengan bilingualisme. (1) bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang meuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian. (2) bilingualisme tanpa diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat. (3) diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau interpreter. (4) tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat terpencil, dan egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam bahasa, serta tidak asa perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa itu.

BAHASA DAN STRUKTUR SOSIAL

Perbedaan kompetensi berbahasa individu berhubungan erat dengan kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif adalah kemampuan bertutur atau menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma berbahasa dalam masyarakat yang sebenarnya. Kompetensi komunikatif melibatkan kode bahasa. Kompetensi komunikatif berhubungan dengan kemampuan sosial dan kebudayaan pemakai bahasa yang dapat membantu untuk menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kemampuan komunikatif juga biasa disebut dengan repertoar bahasa. Repertoar bahasa yang dimiliki dan dikuasau oleh sekelompok pemakai bahasa auat masyarakat disebut masyarakat tutur. Menurut Fishman dan Labov masyarakat tutur berbeda dengan masyarakat bahasa. Ia menilai masyarakat dari segi kebudayaannya. Sedangkan para ahli lain lebih menyoroti mengenai kerja sama dan organisasi. Masyarakat tutur terbagi atas makro dan mikro, landasan terbentuknya karena adanya saling pengertian, dimensi sosial psikologi yang subjektif dan sikap serta kepercayaan para pemakai bahasa terhadap bahasa yang ada dalam masyarakatnya.

Sedangkan tipe masyarakat tutur itu sendiri lambat laun mengalami pergeseran dari faktor keturunan ke faktor pendidikan. Ada 4 pengklasifisian tipe masyarakat tutur yakni; berdasarkan pada perolehan dan kepandaian berbahasa antara lain masyarakat ekabahasa (monolingual), masyarakat dwibahasa (bilingual), dan masyarakat tutur multibahasa (multilingual). Berdasarkan strata sosial, masyarakat tutur terbagi atas lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Penyebab adanya lapisan sosial ialah sesuatu yang dihargai. Berdasarkan ciri perkembangan ada empat tipe masyarakat tutur yakni masyarakat primitif, desa tradisional, kota praindustri dan modern. Sedangkan berdasar kegiatan tutur komunikasi terbagi atas situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak tutur.

Variasi bahasa ada segi internal dan eksternal. Internal itu bila kita berlandaskan faktor-faktor internal bahasa itu sendiri. Hal ini untuk menentukan kekerabatan bahasa, pencarian bahasa purba, pengelompokkan bahasa, asal bahasa dan migrasi bahasa serta bangsa pemiliknya, dan pengaruh timbal balik bahasa sekitarnya dari keserumpunan bahasa. Sedangkan variasi eksternal disebabkan adanya perbedaan struktur dan pranata sosial dan kemajemukan masyarakat, baik horizontal maupun vertikal. Tiga variasi yang bersumber dari variasi eksternal, ketiga sumber itu ialah (1) variasi interpersonal atau disebut juga variasi bebas. Variasi ini dapat menyajikan pilihan kode yang berkorelasi dengan karakteristik individu pemakainya. (2) variasi intrapersonal, variasi ini berdasar pada aspek-aspek dinamis penggunaan bahasa yang diakibatkan oleh situasi tertentu dalam interaksi. Terakhir ialah variasi inherent asumsinya bahwa bahasa seorang anggota masyarakat tutur terdapat dalam satu sistem, sedangkan variasi yang ada itu pada hakikatnya hanyalah representasi permukaan yang berbeda-beda kemunculannya akibat pengaruh kendala linguistik dan non-linguistik.

Kriteria dan wujud variasi bahasa berdasarkan penutur variasi bahasa memiliki sifai perorangan maupun kelompok. Bagi kelompok dapat dibagi lagi meliputi dialek areal, kronolek, dan sosiolek. Berdasar pada status, golongan dan kelas sosial ini varias bahasa terbagi atas akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon dan prokem. Berdasar pemakaian bahasa terbagi antara lain bidang pemakaian bahasa dan fungsi pemakaian bahasa kebakuan dan tidak bakunya suatu bahasa. Berdasar tingkat keformalan terdiri dari baku, resmi, usaha, santai, dan variasi akrab. Berdasar pada sarana dibagi menjadi dua yaitu ragam bahasa lisan dan tulis. Kajian tipe bahasa dapat berdasar pada dua asumsi kajian bahasa, yaitu kajian linguistic dan sosiologis. Kajian kedua itu disebut tipologi fungsional yang didasri oleh atribut sehingga membentuk sebuah parameter. Bagi parameter Stewart menggunakan atribut standarisasi, pemerian kenyataan, vitalitas, historitas, dan otonomi atau kemandirian.

Kajian fungsi bahasa seperti yang telah kita pelajari di kajian aliran linguistic, setiap ahli memiliki pandangan tersendiri. Secara global disini dapat kita simpulkan bahwa Berdasar pada penutur bahasa berfungsi emotif, berdasar mitra tutur bahasa berfungsi direktif, dalam hal kontak antara penutur dengan lawan tutur bahasa bersifat fatik, pada topic ujaran bahsa menganut paham referensial, bagian kode lebih condong kearah metalingual dan metalinguistik, serta di bagian amanat bahasa lebih bersifat imajinatif. Selain fungsi intern juga terdapat fungsi ekstern antara lain fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan, fungsi perorangan, dan fungsi pendidikan.

HAKIKAT SOSIOLINGUISTIK

Setiap teori tentu memiliki sebuah landasan agar teori itu dapat dipercaya oleh orang yang hendak menganutnya, demikian juga dengan kajian sosiolinguistik. Dalam teori ini menurut para ahli sosiolinguistik memandang bahwa hakikat bahasa sebagai kajian objek mereka. Hakikat bahasa disini dapat dibagi menjadi dua yaitu interdisipliner dan disipliner. Interdisipliner memiliki sifat yakni makrolinguistik, kajian ini berorientasi pada factor eksternal bahasa. Setelah berkembang kajian interdisipliner lebih mengarah ke sifat dinamika. Sedangkan disipliner memiliki sifat mikrolingustik dan condong kearah sistem internal bahasa. Kajian bahasa memiliki sebuah perangkat yang terbagi atas langue dan parole dimana telah kita ketahui bahwa langue memiliki sifat abstrak dan parole bersifat kongkret. Keduanya akan membentuk dua asumsi dasar kajian bahasa yakni pertama, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang dapat membentuk tata bahasa dan kedua, bahasa dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara cultural atau dipakai oleh sekelompok individu. Sistem tanda yang mengacu kepada kode ini memiliki dalil yaitu bahasa sebagai sistem komunikasi, bersifat sistematis maupun sistemis, bahasa anak terhadap bahasa pertamanya cukup lengkap. Sedangkan asumsi yang kedua mengarah ke kesejajaran dan korelasi ini juga memiliki suatu paham bahwa bahasa sebagai tingkah laku budaya manusia, didalam masyarakat tutur diperlukan adanya pembaruan, masyarakat tutur selalu ada reaksi subjektif terhadap variasi bahasa, di dalam masyarakat tutur dan masyarakat bahasa terdapat varian bahasa. Selain landasan dan perangkat asumsi kajian bahasa juga memiliki 4 tipe pemerian ilmiah yakni deduktif, probabilistic, fungsional dan genetic.

Perbedaan antara sosiolinguistik dengan linguistic ialah jika berdasarkan orientasi filosofis, sosiolinguistik menganut pahan nominalisme sedangkan linguistik lebih kearah realisme. Dari sistem bahasa sosiolinguistik bersifat terbuka, linguistic bersifat tertutup. Pada sifat bahasa sosiolinguistik bersistem yang heterogen sedangkan linguistic hanya homogen. Jika dilihat dari focus deskripsi, sosiolinguistik lebih memperhatikan fungsi bahasa dalam masyarakat sedangkan linguistic lebih mementingkan struktur. Dilihat dari data sosiolinguistik bisa berupa verbal dan non verbal sedangkan linguistic hanya verbal saja. Pada unit data sosiolinguistik berupa wacana sedangkan linguistic berupa kalimat. Berdasarkan pendekatan sosiolinguistik cenderung multidisipliner sedangkan linguistic kearah unidisipliner. Kesimpulan diatas pada kajian ini cenderung mengindahkan fungsi bahasa tersebut dalam peristiwa ataukegiatan social yang terjadi dalam masyarakat secara terpadu misalnya sistem social, stratifikasi social, diferensiasi social, mobilitas social dan pranata social.

Dimensi-dimensi yang terdapat dalam sosiolinguistik antara lain identitas social penutur dan mitra tutur entah dalam hal ini si mitra tutur mau penutur kebaradaannya segabai bawaan, usaha maupun pemberian. Tempat dan waktu terjadinya komunikasi (tempat dan waktu pembicaraan sangatlah berpengaruh terhadap pemilihan kode dan gaya bertutur seseorang), analisis sinkronik dan diakronik (diwujudkan dalam deskripsi pola-pola dialek social baik berdasar pada asal daerah, kelompok social, tingkat formalitas maupun berdasar pada perkembangan waktu), penilaian social terhadap bahasa (dimensi tersebut berhubungan dengan sikap bahasa yang terdiri atas kognitif, afektif dan kognititif), tingkat dan luasnya variasi bahasa (dari hal ini akan terlihat jelas bahwa keheteroginan bahasa sangatlah bisa terwujud, keheteroginan bahasa menyebabkan hadirnya variasi bahasa, ciri ini dibedakan menjadi multidialektal, multilingual, dan multisosietal), dan penerapan praktis yang merupakan bentuk kongkrit kontribusi dari hasil kerja sosiolinguistik.





Kalimat Efektif

  1. Pendahuluan

Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota masyarakat lain pemakai bahasa itu. Bahasa itu berisi pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembicara atau penulis. Bahasa yang digunakan itu hendaklah dapat mendukung maksud secara jelas agar apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakan itu dapat diterima oleh pendengar atau pembaca. Kalimat yang dapat mencapai sasarannya secara baik disebut dengan kalimat efektif.

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Kalau gagasan yang disampaikan sudah tepat, pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau pembicaranya. Akan tetapi, kadang-kadang harapan itu tidak tercapai. Misalnya, ada sebagian lawan bicara atau pembaca tidak memahami apa maksud yang diucapkan atau

yang dituliskan.

Supaya kalimat yang dibuat dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat, unsur kalimat-kalimat yang digunakan harus lengkap dan eksplisit. Artinya, unsur-unsur kalimat seharusnya ada yang tidak boleh dihilangkan. Sebaliknya, unsur-unsur yang seharusnya tidak ada tidak perlu dimunculkan. Kelengkapan dan keeksplisitan semacam itu dapat diukur berdasarkan keperluan komunikasi dan kesesuaiannya dengan kaidah (Mustakim, 1994:86).

Dalam karangan ilmiah sering kita jumpai kalimat-kalimat yang tidak memenuhi syarat sebagai bahasa ilmiah. Hal ini disebabkan oleh, antara lain, mungkin kalimat-kalimat yang dituliskan kabur, kacau, tidak logis, atau bertele-tele. Dengan adanya kenyataan itu, pembaca sukar mengerti maksud kalimat yang kita sampaikan karena kalimat tersebut tidak efektif. Berdasarkan kenyataan inilah penulis tertarik untuk membahas kalimat efektif dengan segala permasalahannya.





2. Pembahasan

Menurut Nazar (1991, 44:52) ketidakefektifan kalimat dikelompokkan menjadi (1) ketidaklengkapan unsur kalimat, (2) kalimat dipengaruhi bahasa Inggris, (3) kalimat mengandung makna ganda, (4) kalimat bermakna tidak logis, (5) kalimat mengandung gejala pleonasme, dan (6) kalimat dengan struktur rancu.


2.1 Ketidaklengkapan Unsur Kalimat

Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya bahwa kalimat efektif harus memiliki unsur-unsur yang lengkap dan eksplisit. Untuk itu, kalimat efektif sekurang-kurangnya harus mengandung unsur subjek dan predikat. Jika salah satu unsur atau kedua unsur itu tidak terdapat dalam kalimat, tentu saja kalimat ini tidak lengkap. Adakalanya suatu kalimat membutuhkan objek dan keterangan, tetapi karena kelalaian penulis, salah satu atau kedua unsur ini terlupakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.

(1) Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif.

(2) Masalah yang dibahas dalam penenelitian ini.

(3) Untuk membuat sebuah penelitian harus menguasai metodologi penelitian.

(4) Bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu.

(5) Dalam rapat pengurus kemarin sudah memutuskan.

(6) Sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.

Kalau kita perhatikan kalimat di atas terlihat bahwa kalimat (1) tidak memiliki subjek karena didahului oleh kata depan dalam; kalimat (2) dan (4) tidak memiliki predikat hanya memiliki subjek saja; kalimat (3) tidak memiliki subjek; kalimat (5) tidak memiliki subjek dan objek; kalimat (6) tidak memiliki subjek dan predikat karena hanya terdiri atas keterangan yang merupakan anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan. Agar kalimat-kalimat di atas menjadi lengkap, kita harus menghilangkan bagian-bagian yang berlebih dan menambah bagian-bagian yang kurang sebagaimana terlihat pada contoh berikut.

(1a) Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.

(1b) Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif.

(2a) Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah jenis dan makna

konotasi teka-teki dalam bahasa Minangkabau.

(3a) Untuk membuat sebuah penelitian kita harus menguasai metodologi

penelitian.

(4a) Bahasa Indonesia berasal dari Melayu.

(5a) Dalam rapat pengurus kemarin kita sudah memutuskan program baru.

(6a) Kita harus berusaha keras sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.


2.2 Kalimat Dipengaruhi Bahasa Inggris

Dalam karangan ilmiah sering dijumpai pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung. Menurut Ramlan (1994:35-37) penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Bentuk di mana sejajar dengan penggunaan where, dalam mana dan di dalam mana sejajar dengan pemakaian in which, dan yang mana sejajar dengan which. Dikatakan dipengaruhi oleh bahasa Inggris karena dalam bahasa Inggris bentuk-bentuk itu lazim digunakan sebagai penghubung sebagaimana terlihat pada contoh berikut.

(7) The house where he live very large.

(8) Karmila opened the album in which he had kept her new photogragraph.

(9) If I have no class, I stay at the small building from where the sound of

gamelan can be heard smoothly

(10) The tourism sector which is the economical back bone of country must always be intensified.

Pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sering ditemui dalam tulisan seperti yang terlihat pada data berikut.

(11) Kantor di mana dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.

(12) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu di mana waktu itu bangsa Indonesia telah berikrar.

(13) Rumah yang di depan mana terdapat kios kecil kemarin terbakar.

(14) Sektor pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.

(15) Mereka tinggal jauh dari kota dari mana lingkungannya masih asri.

Bentuk-bentuk di mana, di depan mana, dari mana, yang mana, dan dari mana dalam bahasa Indonesia dipakai untuk menandai kalimat tanya. Bentuk di mana dan dari mana dipakai untuk menyatakan ‘tempat’, yaitu ‘tempat berada’ dan ‘tempat asal’, sedangkan yang mana untuk menyatakan pilihan. Jadi, kalimat (11-15) di atas seharusnya diubah menjadi:

(11a) Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.

(12a) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu yang waktu itu bangsa Indonesia telah berikrar.

(13a) Rumah yang di depan kios kecil kemarin terbakar.

(14a) Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.

(15a) Mereka tinggal jauh dari kota yang lingkungannya masih asri.


2.3 Kalimat Mengandung Makna Ganda

Agar kalimat tidak menimbulkan tafsir ganda, kalimat itu harus dibuat selengkap mungkin atau memanfaatkan tanda baca tertentu. Untuk lebih jelasnya perhatikan data berikut.

(16) Dari keterangan masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.

(17) Lukisan Basuki Abdullah sangat terkenal.

Pada kalimat (16) di atas terdapat dua kemungkinan hal yang belum pernah diteliti yaitu masyarakat di daerah itu atau daerahnya. Agar konsep yang diungkapkan kalimat itu jelas, tanda koma harus digunakan sesuai dengan konsep yang dimaksudkan. Kalimat(16) tersebut dapat ditulis sebagai berikut.

(16a) Dari keterangan (yang diperoleh), masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.

(16b) Dari keterangan masyarakat, daerah itu belum pernah diteliti.

Pada kalimat (17) terdapat tiga kemungkinan ide yang dikemukakan, yaitu yang sangat terkenal adalah lukisan karya Basuki Abdullah atau lukisan diri Basuki Abdullah atau lukisan milik Basuki Abdullah seperti yang terlihat data data (17a), (17b), dan (17c) berikut.

(17a) Lukisan karya Basuki Abdullah sangat terkenal.

(17b) Lukisan diri Basuki Abdullah sangat terkenal.

(17c) Lukisan milik Basuki Abdullah sangat terkenal.

Pemakaian tanda hubung juga dapat digunakan untuk memperjelas ide-ide yang diungkapkan pada frase pemilikan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan berikut.

(18) Ani baru saja membeli buku sejarah baru.

Kalimat (18) di atas mengandung ketaksaan yaitu yang baru itu buku sejarahnyakah atau sejarahnya yang baru. Untuk menghindari ketaksaan makna, digunakan tanda hubung agar konsep yang diungkapkan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan. Kalimat (18a) yang baru adalah buku sejarahnya, sedangkan kalimat (18b) yang baru adalah sejarahnya.

(18a) Ani baru saja membeli buku-sejarah baru.

(18b) Ani baru saja membeli buku sejarah-baru.


2.4 Kalimat Bermakna Tidak Logis

Kalimat efektif harus dapat diterima oleh akal sehat atau bersifat logis. Kalimat

(19) berikut tergolong kalimat yang tidak logis.

(19) Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah selesailah makalah ini.

Kalau kita perhatikan secara sepintas kalimat (19) di atas tampaknya tidak salah. Akan tetapi, apabila diperhatikan lebih seksama ternyata tidak masuk akal. Seseorang untuk menyelesaikan sebuah makalah harus bekerja dulu dan tidak mungkin makalah itu akan dapat selesai hanya dengan membaca alhamdulillah. Jadi, supaya kalimat itu dapat diterima, kalimat itu dapat diubah menjadi:

(20a) Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa karena dengan izin-Nya jualah makalah ini dapat diselesaikan.




2.5 Kalimat Mengandung Pleonasme

Kalimat pleonasme adalah kalimat yang tidak ekonomis atau mubazir karena adaterdapat kata-kata yang sebetulnya tidak perlu digunakan. Menurut Badudu (1983:29) timbulnya gejala pleonasme disebabkan oleh (1) dua kata atau lebih yang sama maknanya dipakai sekaligus dalam suatu ungkapan, (2) dalam suatu ungkapan yang terdiri atas dua patah kata, kata kedua sebenarnya tidak diperlukan lagi sebab maknanya sudah terkandung dalam kata yang pertama, dan (3) bentuk kata yang dipakai mengandung makna yang sama dengan kata kata lain yang dipakai bersama-sama dalam ungkapan itu.

Contoh-contoh pemakaian bentuk mubazir dapat dilihat berikut ini.

(20) Firmarina meneliti tentang teka-teki bahasa Minangkabau.

(21) Banyak pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pertemuan tersebut.

(22) Pembangunan daripada waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.

(23) Air sumur yang digunakan penduduk tidak sehat untuk digunakan.

(24) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, maka gejala penyimpangan

perilaku itu dapat disimpulkan.

Pada kalimat (20) kata tentang (preposisi lainnya) yang terletak antara predikat dan objek tidak boleh digunakan karena objek harus berada langsung di belakang predikat. Pada kalimat (21) kata pemikiran tidak perlu diulang karena bentuk jamak sudah dinyatakan dengan menggunakan kata banyak. Atau dengan kata lain, kata banyak dapat juga dihilangkan. Pada kalimat (22) kata daripada tidak perlu digunakan karena antara unsur-unsur frase pemilikan tidak diperlukan preposisi. Pada kalimat (23) terdapat pengulangan keterangan ‘yang digunakan’. Pengulangan ini tidak perlu. Pada kalimat (24) terdapat dua buah konjungsi yaitu jika dan maka.Dengan adanya dua konjungsi ini, tidakdiketahui unsur mana sebagai induk kalimat dan unsur mana sebagai anak kalimat.

Dengan demikian kedua unsur itu merupakan anak kalimat. Jadi, kalimat (24) tidak mempunyai induk kalimat. Kalau begitu, satu konjungsi harus dihilangkan supaya satu dari dua unsur itu menjadi induk kalimat. Jadi, kalimat-kalimat (20-24) dapat diubah menjadi kalimat efektif sebagaimana terlihat pada data berikut.

(20a) Firmarina meneliti teka-teki bahasa Minangkabau.

(21a) Banyak pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.

(21b) Pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.

(22a) Pembangunan waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.

(23a) Air sungai yang digunakan penduduk tidak sehat.

(24a) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, gejala penyimpangan perilakuitu dapat disimpulkan.


Berikut ini akan dicontohkan kalimat pleonasme yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mempunyai makna yang hampir sama.

(25) Kita harus bekerja keras agar supaya tugas ini dapat berhasil.

Kalimat (25) akan efektif jika diubah menjadi:

(25a) Kita harus bekerja keras supaya tugas ini dapat berhasil.

(25b) Kita harus bekerja keras agar tugas ini dapat berhasil.


2.6 Kalimat dengan Struktur Rancu

Kalimat rancu adalah kalimat yang kacau susunannya. Menurut Badudu (1983:21) timbulnya kalimat rancu disebabkan oleh (1) pemakai bahasa tidak mengusai benar struktur bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar, (2) Pemakai bahasa tidak memiliki cita rasa bahasa yang baik sehingga tidak dapat merasakan kesalahan bahasa yang dibuatnya, (3) dapat juga kesalahan itu terjadi tidak dengan sengaja. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.

(26) Dalam masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.

(27) Mahasiswa dilarang tidak boleh memakai sandal kuliah.

(28) Dia selalu mengenyampingkan masalah itu.

Kalimat (26) di atas disebut kalimat rancu karena kalimat tersebut tidak mempunyai subjek. Kalimat (26) tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat aktif (26a) dan kalimat pasif (26b). Sementara itu, kalimat (27) terjadi kerancuan karena pemakaian kata dilarang dan tidak boleh disatukan pemakaiannya. Kedua kata tersebut sama maknanya. Jadi, kalimat (27) dapat diperbaiki menjadi kalimat (27a) dan (27b). Pada kalimat (28) kerancuan terjadi pada pembentukan kata dan kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat (28a).

(26a) Masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.

(26b) Dalam masyarakat Minangkabau dikenal sistem matriakat.

(27a) Mahasiswa dilarang memakai sandal kuliah.

(27b) Mahasiswa tidak boleh memakai sandal kuliah.

(28a) Dia selalu mengesampingkan masalah itu.

Di samping itu, juga terdapat bentukan kalimat yang tidak tersusun secara sejajar. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.

(29) Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi pimpinan belum menyetujui.

Ketidaksejajaran bentuk pada kalimat di atas disebabkan oleh penggunaan bentuk kata kerja pasif diusulkan yang dikontraskan dengan bentuk aktif menyetujui. Agar menjadi sejajar, bentuk pertama menggunakan bentuk pasif, hendaknya bagian kedua pun menggunakan bentuk pasif. Sebaliknya, jika yang pertama aktif, bagian kedua pun aktif. Dengan demikian, kalimat tersebut akan memiliki kesejajaran jika bentuk kata kerja diseragamkan menjadi seperti di bawah ini.

(29a)Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi belum disetujui pimpinan.

(29b)Kami sudah lama mengusulkan program ini, tetapi pimpinan belum

menyetujuinya.


3. Penutup

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Akan tetapi, membuat kalimat efektif tidaklah gampang karena memerlukan keterampilan tersendiri. Kesalahan yang banyak ditemukan dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu (1) ketidaklengkapan unsur kalimat, (2) kalimat dipengaruhi bahasa Inggris, (3) kalimat mengandung makna ganda, (4) kalimat bermakna tidak logis, (5) kalimat mengandung gejala pleonasme, dan (6) kalimat dengan struktur rancu.































Daftar Rujukan



Ali, Lukman dkk. 1991. Petunjuk Praktis Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Badudu, J.S. 1983. Membina Bahasa Indonesia baku. Bandung: Pustaka Prima.

Badudu, J.S. 1991. Pelik-pelik Bahasa Indonesia .Bandung: Pustaka Prima.

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta:Gramedia pustaka Prima.

Ramlan, M. dkk. 1994. Bahasa Indonesia yang Salah dan Yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta.

Nazar, Noerzisri A. 1991. Bahasa indonesia Ragam Ilmiah dan Kumpulan Soal Ujian Bahasa Indonesia. Bandung.


Searching