Hakikat karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang sastrawan dengan kehidupan secara faktual. Hasil rekaan manusia itu lebih tinggi nilainya dari kenyataan, karena sastrawan tidak begitu saja meniru atau meneladani kenyataan. Oleh karena itu, dalam memahami karya sastra hendaknya pembaca mengenal berbagai macam teori, yang salah satunya berupa teori objektif yang akan kita bahas di bawah ini.
Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.
2. Ciri-ciri
Ciri-ciri yang terdapat dalam teori objektif adalah:
Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji suatu karya sastra.
Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku.
Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view.
Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya sastra, maka unsur-unsur pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.
3. Metodologi
Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan adanya cara untuk mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula pendekatan dan penilaian secara objektif.
Pendekatan objektif (pendekatan struktural) adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan, dan memandang karya sastra adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang dapat berupa pararelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya yang lebih luas seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain.
Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak dengan pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara objektif itu, menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada adanya :
Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpapar melalui jalan seni, imajinasi maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kasatuan yang utuh, selaras, serta padu dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas, harmony, dan unity.
Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat texture serta penataan unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada adanya consonantia dan klantas.
Dari adanya sejumlah kriteria di atas memang pada dasarnya seseorang dengan mudah dapat menentukan bahwa sebuah bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi, satu hal yang harus diingat, bacaan berupa teks sastra itu tidak selamanya mengandung nilai-nilai sastra.
Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).
4. Sejarah
Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa mencuatnya pendekatan struktur tidaklah lepas dari peranan kaum Formalis. Maka, kaum Formalis dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan pendekatan ilmu modern. Ciri khas penelitian sastra kaum Formalisme ialah penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini, nilai estetik suatu karya sastra seperti yang dikemukakan oleh tokoh utamanya Jacobson, adalah didasarkan pada poetic function yang diolah berdasarkan kode metrum, rima, macam-macam bentuk paralelisme, pertentangan, kiasan, dan sebagainya. Dengan kata lain, Jacobson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.
Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Telaah semacam inilah yang ditekankan oleh kaum strukturalisme.
5. Tokoh dan Konsep
1) Aristoteles
Telah diperkenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Suatu penilaian dikatakan objektif bila penilaian itu bertolak dari suatu nilai atau konvensi yang terlepas dari segi pembaca. Sehingga, nilai itu adalah nilai yang ada dalam teks sastra, dan bukan nilai yang ada dalam opini pembaca itu sendiri.
2) Taine
Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan.
3) Jacobson
Jacabson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.
4) Ferdinand de Saussure
Pendekatan struktur secara langsung atau tidak langsung sebenarnya banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, yang intinya berkaitan dengan konsep sign dan meaning (bentuk dan isi).
5) Luxemburg
Luxemburg memiliki konsep signifiant- signified dan paradigma- syntagma. Pengertiannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsure pemberi arti dan yang diartikan. Dari dua unsur itulah akan dapat dinyatakan sesuatu yang berhubungan dengan realitas. Karena itu, untuk memberi makna atau memahami makna yang tertuang dalam karya sastra, penelaah harus mencarinya berdasarkan telaah struktur, yang dalam hal ini terefleksi melalui unsure bahasa.
6) Terry Eagleton
Mengungkapkan bahwa setiap unit dari struktur yang ada, hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut bisa merupakan hubungan pararelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut dalam menghadirkan makna secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Santosa, Puji. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Nusa Indah.
5 komentar:
kalau bs masukin jg kutipan yg bersumber yg dr bhs. ing
Good, lengkap, I like it
Stuja dengan Fitrah!!! ^^
good job, I like It!!
Tambahan, masukin contoh juga donk! minimal 2, buat aq ma fitah...
(biar tugas kampusnya langsung kelar!hohoho)
Pengalaman sastra yang lengkap yak?sayang aq belum baca keseluruhan,berhubg OL nya lewat hp.so, nahan napsuh dulu bwt baca.aq senang sastra, novel,roman,cerpen n trkhusus puisi.so,aq bakal lanjut baca postingan u lain waktu saat ol compy.*berdoayak.hhehe
eh lupa aq udh sok akrab gini, perkenalan biar lebih nge-akrab.hihi
jingga di sini.folbek punyaq juga yak.:)
btw,ckup sekian dlu kunjungan midnight-q kapan2 kembali lgi.mo bantu power rangers dulu.hehe gk nyambung yak.
cukup pnjang dah komentnya.:D
izin copast yee buat bahan tugas..
terimakasih
Posting Komentar