I. PENDAHULUAN
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti ada penyebabnya, demikian pula dalam bidang keilmuan bahasa atau biasa disebut dengan linguistik. Lahirnya beberapa teori atau ilmu baru itu pasti ada asal-usulnya. Entah faktor penyebab itu mucul dari dalam (intern) ataupun dari luar (ekstern). Pernahkah kita mengupasnya lebih dalam lagi? Sehingga kita dapat mengerti bagaimana suatu ilmu itu terjadi dan berkembang.
Perubahan makna diperkenalkan oleh Edward Sapir 70 tahun yang lalu. Banyak para linguis mencoba untuk menyempurnakan konsep yang telah ada. Salah satunya yaitu Antoine Meillet yang berujar bahwa makna merupakan unsur yang mempunyai daya tahan yang lemah untuk berubah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dengan adanya teori itu bukan berarti konsep perubahan makna lantas menjadi sempit, banyak kata-kata pada era modern ini yang sudah berubah maknanya. Ini kesempatan kita untuk menggali dan memperbanyak khasanah kita tentang perkembangan peubahan makna.
Perubahan makna itu terjadi bukan disebabkan dari segi kebahasaan saja tetapi juga disebabkan oleh sejarah, latar belakang sosial, psikologis, pengaruh-pengaruh asing dan kebutuhan akan makna baru. Makalah ini penulis akan membahas secara detail mengenai hakikat perubahan makna itu sendiri dan sebab-sebab kata itu berubah maknanya.
II. HAKIKAT PERUBAHAN MAKNA
Salah satu aspek yang amat diminati dalam kajian makna ialah perubahan makna dalam bahasa. Oleh sebab bahasa bersifat dinamik, maka perkataan yang menjadi unit asas kepada bahasa, sentiasa mengalami perubahan. Hal ini sudah sejak dahulu diamati oleh para pengkaji bahasa. Menurut mereka, terdapat banyak faktor yang merangsangkan terjadinnya perubahan.
Seorang tokoh bernama Aksioma Leibniz bergagasan bahwa ”Alam itu tidak membuat loncatan” arti dari pernyataan ini ialah bahwa alam itu berubah secara perlahan-lahan tidak ada yang langsung mengalami perubahan secara drastis, hal ini sangatlah cocok dengan kajian perubahan makna. Dalam perubahan makna selalu ada asosiasi antara makna lama dan makna baru. Asosiasi merupakan suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain, tetapi bagaimanapun jenis suatu asosiasi itu akan selalu mengalami proses. Unsur inilah yang merupakan syarat mutlak untuk perubahan makna semakin kuat asosiasi itu maka semakin mudah makna itu berubah dengan sendirinya. Seperti inilah bagan dari teori asosiasi:
Teori Asosiasi
Asosiasinisme Medan Asosiatif
Asosianisme merupakan suatu paham dimana paham tersebut memaparkan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Berputarnya waktu menjadikan teori ini menjadi sebuah konsep yang utuh karena adanya tunjungan dari konsep dan prinsip yang ditata secara struktural memunculkan suatu gagasan bahwa kata-kata tunggal telah menjadi satuan-satuan yang lebih luas,ini disebut dengan medan asosiatif.
Gabungan dari pendekatan yang terstruktur dari Saussure, filsafat bergson, dan linguis Perancis Leonce Roudet membuat suatu pengelompokkan yang komprehensif dalam hal perubahan makna berdasarkan asosiasi yang melandasinya. Dalam aliran semantik kita mengenal konsep makna sebagai timbal-balik dari nama dan makna, jikalau konteks itu benar maka seharusnya perubahan makna bisa dibagi menjadi dua kategori yang pertama yaitu perubahan makna yang didasarkan atas asosiasi antara makna dengan makna dan perubahan yang melibatkan asosiasi antara nama-nama. Jika kita menerima suatu perbedaan dari dua kategori tersebut dapat kita peroleh dua kategori lagi ialah kesamaan dan kedekatan. Kedekatan ini memiliki arti yang luas, yakni mencakup tiap hubungan asosiatif yang bukan kesamaan. Sebagian kategori tersebut masih bisa dibagi menjadi substansi-substansi yang lebih kecil lagi.
III. SEBAB-SEBAB PERUBAHAN MAKNA
3.1 Perubahan Makna dari Segi Kebahasaan
Seorang linguis dari Perancis Breal pernah menjelaskan adanya penularan dalam arti makna sebuah kata yang dialihkan ke kata-kata yang lain karena kata-kata tersebut selalu muncul bersama-sama dalam berbagai konteks. Dalam bahasa Perancis sejarah bentuk ingkar atau yang biasa kita kenal dengan istilah negation ini merupakan contoh yang konkret dari penelitian Breal. Contoh dalam bahasa Indonesia yakni ”Indonesia mendapat dua emas dalam sebuah turnamen bulu tangkis”, kata emas itu sama artinya dengan medali emas. Makna kata medali masuk ke dalam emas.
Gejala bahasa dapat menyebabkan perubahan makna. Misalnya, kata sahaya yang semula bermakna hamba, abdi, budak, tetapi karena berubah menjadi saya (gejala sinkope) artinya berubah menjadi orang pertama yang hormat. Kata sah yang berarti berlaku/diakui kebenarannya oleh pihak resmi sering dilafalkan dan ditulis syah (gejala hiperkorek). Padahal syah berarti raja.
Selanjutnya, akibat pengaruh dialek, suatu kata dapat berubah maknanya. Misalnya, kata tahu yang dalam bahasa Indonesia berarti ’mengerti’ sesudah melihat. Tetapi karena pengaruh dialek Jakarta, artinya menjadi ’tidak tahu’.
3.2 Perubahan Makna karena Perubahan Waktu dan Tempat
Dalam berbahasa, banyak hal yang dapat mempengaruhi perubahan makna. Salah satunya adalah perubahan waktu dan tempat. Tahun ke tahun selalu terdapat perkembangan yang membuat suatu ilmu itu tidak pernah mati. Kita dapat menengok ke belakang, bahwa pada era lampau masih sedikit kosakata yang kita pakai. Dalam kaitannya dengan perubahan tempat, suatu makna bahasa bisa jadi berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Contoh perubahan makna karena waktu :
bapak : makna dulu hanya sebutan bagi orang tua kita, sekarang sebutan untuk semua laki-laki yang sudah menikah.
sarjana : makna dulu ialah orang yang berpendidikan, makna sekarang ialah orang yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Contoh perubahan makna karena tempat :
batin : di Sumatra bermakna ’penghulu adat’ ; dalam bahasa Indonesia bermakna ’yang terdapat dalam hati (perasaan hati)’.
lurah : di Jawa bermakna ’kepala desa’ ; dalam bahasa Indonesia bermakna ’lembah; jurang’.
3.3 Perubahan Makna karena Faktor Sosial.
Faktor lain yang dapat menyebabkan adanya perubahan makna adalah faktor sosial yang berkaitan dengan bahasa yang secara umum digunakan dalam kehidupan masyarakat dan telah memiliki makna tertentu.
Contohnya pada kata oknum bermakna ”penyebut diri Tuhan” dalam agama Katholik, lalu bermakna ”orang yang terlibat dalam hal-hal yang kurang baik”.
Contoh lain :
kebijaksanaan : selalu menggunakan akal budinya, arif, dan tajam pikiran; sekarang kata yang bernilai positif ini merosot konotasinya akibat kasus di masyarakat yang tidak baik.
gerombolan : kelompok orang yang berkumpul/bergerombol lalu kata tersebut tidak disukai masyarakat karena kata ini dihubungkan dengan pengacau, pemberontak dan sebagainya.
3.4 Perubahan Makna karena Perubahan Konotasi
Perubahan makna juga bisa terjadi karena adanya konotasi yang berubah dari makna sebelumya. Umumnya, perubahan konotasi ini menjurus ke pemahaman yang lebih dihaluskan. Kata mengamankan bermakna ’menjadikan tidak berbahaya, tidak rusuh (kacau, kemelut, dan sebagainya)/ tentram’. Karena adanya perubahan konotasi, maknanya kemudian berubah menjadi ’menahan, menangkap, atau menjalankan : polisi mengamankan pembunuh / perampok/ koruptor, dan sebagainya. Dalam hal ini, ada faktor psikologis, yaitu mengurangi ketakutan dari pihak yang ditahan/ditangkap atau perlakuan yang sopan/halus terhadap dia.
Contoh-contoh lain :
dibebastugaskan : (1) ’diberi izin tidak melaksanakan tugasnya’ ; misalnya : dia dibebastugaskan karena cuti hamil.
’diberhentikan dari tugasnya/jabatannya; misalnya : dia dibebastugaskan karena melanggar peraturan pemerintah (PP 10).
dirumahkan : (1) ’disuruh bertempat tinggal di rumah, tidak bergelandangan’.
’dibebaskan tidak bekerja dengan menyuruh tinggal di rumah saja’.
Catatan:
Pada contoh di atas terdapat kenyataan yang berlawanan. Mestinya orang yang diamankan itu hatinya aman/tentram, tetapi kenyataannya masih gelisah/tidak tentram. Begitu pula, mestinya karyawan yang diistirahatkan itu senang karena dapat mengaso, tetapi kenyataannya dia susah sebab tidak mendapat gaji/penghasilan.
3.5 Faktor Psikologis
Kejiwaan seorang penutur juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan makna. Faktor ini tumbuh dari respon dari seorang penutur yang masuk dalam pikirannya sehingga menimbulkan suatu citra kerana kesesuaian ekspresifnya. Citra tersebut mula-mula dari gaya perseorangan kemudian berjalan menjadi pemakaian yang umum.
Jiwa penutur merupakan perubahan makna yang sangat menarik dalam faktor psikologis ini dapat dibagi menjadi 2 sebab yang lebih spesifik lagi, yaitu faktor emotif dan tabu.
3.5.1 Faktor Emotif
Prof. H. Sperber dalam bukunya yang diluncurkan pada tahun 1923 berusaha menggali tentang perubahan makna tang disebabkan oleh perasaan. Menurut Sperber, jika kita secara intens berminat dalam dalam sesuatu hal, kita cenderung sering kali membicarakannya bahkan kita akan mengacu kepada hal itu ketika kita berbicara tentang hal yang sama sekali berbeda. Hal-hal tersebut mengakibatkan perbandingan dan metafora bagi suatu pengalaman yang akan kita alami kedepan. Dari perpaduan tersebut akan mucul pusat-pusat atraksi dimana kta dapat menyatukan dari bidang-bidang lain supaya dapat terperoleh makna kata yang tepat dan bervariasi.
Contoh :
Senjata-senjata yang mengerikan dikaitkan dengan manusia.
Di Indonesia : wanita gemuk sering disebut bomber ( pesawat pembom ).
Di Jawa : pistol sering disebut munthu (alat penumbuk bumbu).
3.5.2 Tabu
Tabu merupakan sebuah makna yang sangat komprehensif tetapi pada umumnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dilarang. Istilah tabu ini dipopulerkan oleh Kapten Cook dari bahasa Polinesia. Cook mengemukakan bahwa tabu mempunyai arti bercabang, di satu pihak memiliki arti yang suci atau disucikan sedangkan di pihak lain mengandung makna tidak alamiah (misterius), berbahaya, dilarang dan tidak bersih.
Tabu dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sesuai dengan motivasi psikologis yang melatarbelakanginya antara lain : karena ketakutan, perasaan nyaman dan karena rasa hormat dan sopan.
3.5.2.1 Tabu karena ketakutan
Tabu karena ketakutan ini kebanyakan disebabkan oleh adanya dunia lain (supernatural) itu ada. Orang-orang tabu untuk menyebut nama dari makhluk-makhluk tersebut.
Contoh :
Di Jawa : kebiasaan menyebut roh-roh yang dikeramatkan dengan sebutan mbah.
Di Sumatera : kebiasaan para pemburu menyebut kyai untuk macan.
3.5.2.2 Tabu kenyamanan
Hal ini disebabkan untuk menghindarkan kecenderungan dari manusia kepada hal-hal yang tidak menyenangkan. Banyak kita jumpai bahwa manusia sering dikaitkan dengan penyakit dan kematian. Hal lain yang juga berhubungan dengan kenyaman itu sendiri ialah hal cacat dan tidakan kriminal.
Contoh :
idiot : dapat dikembalikan pada kata Yunani yang berarti orang kebanyakan, orang swasta.
dikebumikan : dalam bahasa Indonesia berarti dibunuh.
3.5.2.3 Tabu karena sopan santun
Tiga hal yang termasuk dalam tabu ini ialah hal-hal yang berkaitan dengan seks, bagian tubuh tertentu, dan cacian.
Contoh :
Di Indonesia : pelacur sering disebut dengan wanita tuna susila atau biasa disingkat dengan WTS.
Di Jakarta : cacian biasanya menggunakan kata mak ditimpe.
3.6 Pengaruh Asing
Banyak perubahan makna disebabkan oleh pengaruh suatu model bahasa. Ini dapat kita lihat dalam pembicaraan tentang polisemi. Pengaruh asing ini menyebabkan perubahan makna dalam bidang lingistik, karena pengaruh dari perdagangan bebas. Sehingga kata yang dianut oleh negara lain dicoba untuk diadaptasi oleh negara tersebut.
Contoh :
Kata Bintang
Makna aslinya berarti suatu benda langit yang menghias alam ini pada waktu malam hari.
Sekarang banyak mendapat bentukan menjadi bintang film, bintang panggung, bintang lapangan, bintang pelajar dan sebagainya.
IV KESIMPULAN
Perubahan makna terjadi karena adanya asosianisme dan medan asosiatif. Asosianisme merupakan suatu paham dimana paham tersebut memaparkan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Konsep dan prinsip yang ditata secara struktural memunculkan suatu gagasan bahwa kata-kata tunggal telah menjadi satuan-satuan yang lebih luas, ini disebut dengan medan asosiatif.
Faktor-faktor penyebab perubahan makna yaitu faktor kebahasaan, waktu dan tempat, sosial, perubahan konotasi, psikologis dan pengaruh asing. Banyaknya penyebab perubahan makna memunculkan perluasan makna, penyempitan, polisemi, metafora, perbandingan dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia
Saryono, Djoko. Pedoman Semantik Bahasa Indonesia. Malang : UM press
Ullmann, stephen. 1977. Semantics, an Introduction to the Science of Meaning. Basil Blachwell : Oxford
Tidak ada komentar:
Posting Komentar