Pertama-tama A. Teuw membeberkan tentang siapakah Sutardji Calzoum Bachri itu. Tentulah ini merupakan pendekatan subjektif karena mengupas atau menggali informasi mengenai biografi pengarang, tetapi itu tidak semata-mata subjetif saja di dalam kritiknya berikan judul terikat dalam pembebasan kata juga tidak sedikit yang mengandung pendekatan objektif dan mimetik.
Ada yang unik dalam diri Sutardji Calzoum Bahcri yang pernah melahirkan credonya sebagai penyair yang berbunyi kata bukanlah kata, tapi pengertian itu sendiri. Kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Fragmen ini secara eksplesit terdapat dalam karyanya yang berjudul Husspuss
Dari sinilah timbul ketertarikan A. Teuw untuk menggali apa makna yang dimaksud dalan sajak diatas. Jika kita sebagai mahasiswa yang masih baru belajar mengenai dunia sastra tentunya sangat sulit menjelaskan konsep diatas, karena keterbatasan skemata yang kita miliki. A. Teuw membantu kita supaya kita paham apa yang dimaksudkan oleh Sutardji dengan ucapannya bahwa kata bukanlah kata dan bahwa kata harus bebas dari penjajahan pengertian.
A. Teuw mencoba menganalisisnya dari kata perkata. Kita semua mengerti bahwa kata adalah alat, yang juga oleh Sutardji sendiri dipergunakan, dipermainkan untuk mengadakan komunikasi, untuk melahirkan isi hati, untuk menguasai realitas, atau entah apa yang menjadi fungsi puisi menurut anggapan Sutardji. Komunikasi disini tentunya dalam arti yang lebih sempit lagi yakni komunikasi secara puisi kata tidak menjadi alat, jadi yang tidak berfungsi, kehilangan relevansi dalam komunikasi kata khususnya dan bahasa pada umumnya.
Analisis kedua bahwa kata yang tanpa pengertian itu tidak mungkin. Kata yang tak berpengertian akan kehilangan cirinya yang khas sebagai bahasa., menjadi bunyi saja. Walaupun pernah ada beberapa penyair yang hanya menggunakan media bunyi saja tetapi sajak semacam itu lebih mendekati musik, seni bunyi dari pada puisi. Aspek distinktifnya sebagai bahasa akan hilang, dan dalam praktek ternyata puisi semacam itu baik bagi pembaca maupun pengarang kurang memuaskan.
Tetapi dari situ juga terdapat kemungkinan lain yakni bunyi bahasa yang kelihatannya atau pada diri sendirinya sendiri tidak bermakna dapat menerima relevansi kebahasaaan jika dalam bunyi tersebut diberikan kemungkinan kepada pendengar atau pembaca untuk memberi makna kepadanya, melalui asosiasi, kesejajaran, kemiripan ataupun pertentangan dengan kata-kata biasa, yang berarti.
Jadi dalam keadaan tertentu unsur bunyi bahasa dapat berfungsi tanpa makna, tetapi itu hanya mungkin berkat konvensi, pengetahuan pada pihak pembaca bahwa yang tidak bermakna itupun bermakna, dapat dan harus diberi makna. Penyimpangan dari pemakaian kata sebagai dwitunggal makna-bunyi hanya mungkin berkat kontras dengan pemakaian kata yang normal., dan dalam situasi dimana kontras itu berfungsi, mempunyai fungsi yang disingkapkan dan direbut oleh pembaca.
Tetapi konsep yang digagas oleh A. Teuw itu bukan sejalan dengan yang dipakai oleh Sutardji. Konsep Sutardji adalah pembebasan kata dari hubungan sintaksis, dan dari hubungan morfologis yang biasa, yang terbiasa dan usang. Konsep ini tidak digagas oleh Sutardji saja Shelly dan Viktor Shklovsky juga mempunyai pemikiran seperti itu. Karena tugas penyair adalah untuk mengejutkan si pembaca oleh penyimpangan dari pemakaian bahasa yang sudah terbiasa, sudah familliar, usang dan luntur. Penyimpangan itu sangatlah bermacam-macam jika dari segi semantik (metafora dan lain-lain), bunyi (rima, aliterasi, dll), sintaksis dan lain-lain. Dunia sastra beda dengan bahasa sehari-hari, perbedaan yang penting yaitu dalam bahasa sehari-hari memang pemakai bahasa harus berusaha untuk dipahami, terpahami oleh lawan bicaranya. Sedangkan dalam dunia sastra jika dalam masyarakat tidak memahami konteks sebuah sajak itu di hari yang kelak terlebih dengan munculnya teoritis-teoritis baru akan muncul orang yang memahami sajak tersebut.
A. Teuw dengan tegas mengatakan bahwa Sutardji telah keluar dari norma dan kode kebahasaan yang ada. Karya-karya Sutardji lebih banyak berbentuk mantera setelah diteliti oleh A. Teuw. Kegunaan dari bentuk mantera ini sebagai alat bahasa gaib, yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia gaib. Hal ini jelas di luar kemampuan manusia atau bisa dikata ini merupakan pengimajinasian dari alam bawah sadar manusia.
Di dalam kritik A. Teuw tersebut tidak terbatas keistemewaan dalam sajak tersebut, aspek yang dibahas sangat normal sehingga tidak ada sesuatu yang khas dalam pemilihan diksi yang ditulis oleh pengarang. Tetapi bagaimana cara kita untuk memahami suatu makna kata tersebut juga harus diperhatikan. Tetapi menurut A. Teuw reduksi yang biasa membuat kita menyepelekan atau menganggap sepi baris demi baris dalam sajak tersebut.
Hal tersebut dibandingkan olehnya dengan karya-karya Sutardji yang lainnya. Yang mana juga banyak karya-karya sutardji yang sangat sederhana tetapi ada juga menggunakan diksi yang tidak mudah dicerna. Tetapi kesederhanaan itu merupakan keseluruhan ciptaan dari Sutardji, yang tidak dapat dipecah-pecah lagi karena sudah merupakan kesatuan yang padu.
Ada yang unik dalam diri Sutardji Calzoum Bahcri yang pernah melahirkan credonya sebagai penyair yang berbunyi kata bukanlah kata, tapi pengertian itu sendiri. Kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Fragmen ini secara eksplesit terdapat dalam karyanya yang berjudul Husspuss
Dari sinilah timbul ketertarikan A. Teuw untuk menggali apa makna yang dimaksud dalan sajak diatas. Jika kita sebagai mahasiswa yang masih baru belajar mengenai dunia sastra tentunya sangat sulit menjelaskan konsep diatas, karena keterbatasan skemata yang kita miliki. A. Teuw membantu kita supaya kita paham apa yang dimaksudkan oleh Sutardji dengan ucapannya bahwa kata bukanlah kata dan bahwa kata harus bebas dari penjajahan pengertian.
A. Teuw mencoba menganalisisnya dari kata perkata. Kita semua mengerti bahwa kata adalah alat, yang juga oleh Sutardji sendiri dipergunakan, dipermainkan untuk mengadakan komunikasi, untuk melahirkan isi hati, untuk menguasai realitas, atau entah apa yang menjadi fungsi puisi menurut anggapan Sutardji. Komunikasi disini tentunya dalam arti yang lebih sempit lagi yakni komunikasi secara puisi kata tidak menjadi alat, jadi yang tidak berfungsi, kehilangan relevansi dalam komunikasi kata khususnya dan bahasa pada umumnya.
Analisis kedua bahwa kata yang tanpa pengertian itu tidak mungkin. Kata yang tak berpengertian akan kehilangan cirinya yang khas sebagai bahasa., menjadi bunyi saja. Walaupun pernah ada beberapa penyair yang hanya menggunakan media bunyi saja tetapi sajak semacam itu lebih mendekati musik, seni bunyi dari pada puisi. Aspek distinktifnya sebagai bahasa akan hilang, dan dalam praktek ternyata puisi semacam itu baik bagi pembaca maupun pengarang kurang memuaskan.
Tetapi dari situ juga terdapat kemungkinan lain yakni bunyi bahasa yang kelihatannya atau pada diri sendirinya sendiri tidak bermakna dapat menerima relevansi kebahasaaan jika dalam bunyi tersebut diberikan kemungkinan kepada pendengar atau pembaca untuk memberi makna kepadanya, melalui asosiasi, kesejajaran, kemiripan ataupun pertentangan dengan kata-kata biasa, yang berarti.
Jadi dalam keadaan tertentu unsur bunyi bahasa dapat berfungsi tanpa makna, tetapi itu hanya mungkin berkat konvensi, pengetahuan pada pihak pembaca bahwa yang tidak bermakna itupun bermakna, dapat dan harus diberi makna. Penyimpangan dari pemakaian kata sebagai dwitunggal makna-bunyi hanya mungkin berkat kontras dengan pemakaian kata yang normal., dan dalam situasi dimana kontras itu berfungsi, mempunyai fungsi yang disingkapkan dan direbut oleh pembaca.
Tetapi konsep yang digagas oleh A. Teuw itu bukan sejalan dengan yang dipakai oleh Sutardji. Konsep Sutardji adalah pembebasan kata dari hubungan sintaksis, dan dari hubungan morfologis yang biasa, yang terbiasa dan usang. Konsep ini tidak digagas oleh Sutardji saja Shelly dan Viktor Shklovsky juga mempunyai pemikiran seperti itu. Karena tugas penyair adalah untuk mengejutkan si pembaca oleh penyimpangan dari pemakaian bahasa yang sudah terbiasa, sudah familliar, usang dan luntur. Penyimpangan itu sangatlah bermacam-macam jika dari segi semantik (metafora dan lain-lain), bunyi (rima, aliterasi, dll), sintaksis dan lain-lain. Dunia sastra beda dengan bahasa sehari-hari, perbedaan yang penting yaitu dalam bahasa sehari-hari memang pemakai bahasa harus berusaha untuk dipahami, terpahami oleh lawan bicaranya. Sedangkan dalam dunia sastra jika dalam masyarakat tidak memahami konteks sebuah sajak itu di hari yang kelak terlebih dengan munculnya teoritis-teoritis baru akan muncul orang yang memahami sajak tersebut.
A. Teuw dengan tegas mengatakan bahwa Sutardji telah keluar dari norma dan kode kebahasaan yang ada. Karya-karya Sutardji lebih banyak berbentuk mantera setelah diteliti oleh A. Teuw. Kegunaan dari bentuk mantera ini sebagai alat bahasa gaib, yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia gaib. Hal ini jelas di luar kemampuan manusia atau bisa dikata ini merupakan pengimajinasian dari alam bawah sadar manusia.
Di dalam kritik A. Teuw tersebut tidak terbatas keistemewaan dalam sajak tersebut, aspek yang dibahas sangat normal sehingga tidak ada sesuatu yang khas dalam pemilihan diksi yang ditulis oleh pengarang. Tetapi bagaimana cara kita untuk memahami suatu makna kata tersebut juga harus diperhatikan. Tetapi menurut A. Teuw reduksi yang biasa membuat kita menyepelekan atau menganggap sepi baris demi baris dalam sajak tersebut.
Hal tersebut dibandingkan olehnya dengan karya-karya Sutardji yang lainnya. Yang mana juga banyak karya-karya sutardji yang sangat sederhana tetapi ada juga menggunakan diksi yang tidak mudah dicerna. Tetapi kesederhanaan itu merupakan keseluruhan ciptaan dari Sutardji, yang tidak dapat dipecah-pecah lagi karena sudah merupakan kesatuan yang padu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar