Jumat, 05 Desember 2008

ANALISIS NASKAH AENG KARYA PUTU WIJAYA


AENG
Karya : Putu Wijaya


Putu Wijaya yang produktif ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. banyak karya-karya baik drama maupun prosa yang ia hasilkan, misalnya Dalam Cahaya Bulan Bila Malam ,Bertambah Malam, Invalid, Tak Sampai Tiga Bulan, Orang-Orang Malam, Lautan bernyanyi, Aduh, Anu, Edan, Hum-pim-pah, Dag-dig-dug,dan lain sebagainya. Gaya penulisan Putu Wijaya sangat kental sekali, ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness. Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan.

Dalam naskah drama Aeng ini Putu wijaya mencoba melukiskan seorang yang karena hasrat duniawinya akhirnya terperosok ke dalam dunia yang sesak. Mula-mula ia menceritakan kebiasaan tokoh Alimin yang ingin mengarungi kehidupan ini sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Ini terlihat ketika ada seorang yang hendak bertamu tetapi ia malah ingin tidak diganggu. Pada awal-awal Putu Wijaya hendak membeberkan bagaimana tokoh Alimin ini, seperti apa dia. Hal tersebut tergambar dalam penggalan naskah ini.

TIBA-TIBA BERTERIAK DAN MELEPASKAN) Gila. Kamu melawan? (KETAWA) Kamu menghasutku untuk melakukan melawan? (KETAWA) Tidak bisa.. Manusia bisa kamu lawan. Tapi dinding beku ini tidak. Mereka bukan manusia lagi. Itu sistem yang tak mengenal rasa. Tak ada gunanya kawan, tidak. (MEMBURU DAN MENGINJAK KECOAK ITU) kamu tidak berdaya. Kamu sudah habis (TERTEGUN)

Setelah puas dengan permainan diksi dan pengungkapan ‘dia’ dalam menggali dan mencoba mengenali watak tokoh utama dalam naskah drama ini, kemudian Putu Wijaya mencoba memasukkan progesif alur untuk membuat cerita ini menjadi lebih hidup. Tokoh langsung dihadapkan dengan beberapa pertikaian atau permasalahan. Bagaimana tokoh Alimin ini menyikapinya? Ternyata dengan daya ledakan yang cukup tinggi pada dirinya. Pengungkapan yang berapi-api dan cenderung dengan kata-kata kotor ini wujud dari Putu Wijaya yang ekspresif dalam pengungkapannya. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan naskah berikut ini.
Atau mungkin hanya hantu. Enak juga jadi hantu. Tidak kelihatan , tapi bisa melihat. Aku bisa masuk ke kamar mandi mengintip perempuan-perempuan jadi cabul kalau sendirian. Aku masuk ke dalam kamar tidur para Pemimpin dan melihat ia menjilati kaki istrinya seperti anjing. Aku masuk kedalam rumah-rumah ibadah dan melihat beberapa Pendeta main judi sambil menarik kain para pembantu. Tak ada orang yang bersih lagi. Sementara dogma-dogma makin keras ditiup dan aturan makin banyak dijejerkan untuk membatasi tingkah laku manusia, peradaban makin kotor. Ah, apa ini? Menjadi hantu hanya melihat kebrengsekan! Nggak enak ah!

Namun, yang menjadi hal menarik ialah terjadinya loncatan-loncatan sebelum tokoh Alimin mendapatkan pressure dari sang pengarang. Putu Wijaya langsung memberikan permasalahan tanpa latar belakang yang jelas. Ia tak mengisahkan bagaimana sang tokoh tersebut hanyut dalam sebuah problema yang ia derita hingga akhirnya mengisahkan ia harus mendekap di balik jeruji besi. Disini hanya dilukiskan bahwa si tokoh karena memperkosa seorang pelacur. Tetapi yang menarik apabila kita kaji ialah bagaimana seorang pelacur ini hadir di dalam kehidupan Alimin. Tiba-tiba Putu Wijaya menempatkan seorang pelacur tersebut sebagai bahan untuk menuju tahap yang klimaks.
MENOLEH KE TOPINYA TIBA-TIBA TERSENYUM RIANG) He, kamu ada di situ Nensi! Rupanya kamu yang dari tadi melotot di situ. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Kenapa lipstik kamu belepotan? Ada hansip yang memperkosa kamu? Jangan diam saja seperti orang bego sayang. Ke mari. Masih ingat pada aku kan? MENUNDUKKAN BADANNYA, KEDUA TANGANNYA DI DEKAT TOPI ITU) Aku bukan orang yang dulu lagi. Kau pun tidak. Ketiak kita sudah ubanan. Tetapi kita pernah bersama-sama membuat sejarah dan itu tidak bisa hapuskan begitu saja. Sekeping dari diri kamu masih tetap dalam tubuhku dan bagian dari punyaku masih tersimpan pada kamu. Kita bisa berbohong tapi itu tidak menolong.
Perkenalan itulah yang kurang disisipkan oleh Putu Wijaya. Hal ini membuat para pembaca akan bertanya-tanya atau malah kebingungan dengan hadirnya sosok Nensi yang mendadak di dalam kehidupan Alimin. Tiba-tiba sang pengarang langsung menempatkan tokoh utama dihapan sang pengadil di meja hijau.

Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Saya tak akan membela apa yang sudah saya lakukan. Saya justru ingin menjelaskannya. Bahwa memang benar saya yang melakukan segalanya itu. Hukumlah saya. Dua kali dari ancaman yang telah paduka sediakan. Wanita itu saya cabik lehernya, karena saya rasa itu yang paling tepat untuk dia. Kemudian harta bendanya saya rampas, karena kalau tidak dimanfaatkan akan mubazir. Saya lakukan itu dalam keadaan yang tenang. Pikiran saya waras.

Kemudian sang tokoh langsung dibawa ke alam yang berbeda berdasarkan hasil akhir yang ia dapat dari pengadilan tersebut. Tetapi hal menarik justru terjadi, seperti kita ketahui dalam film-film sekarang atau sinetron-sinetron dimana saat tokoh utama saat menjalani proses kriminal dan harus dirumahkan di jeruji besi akan mendapat tekanan batin yang besar sehingga faktor spiritualnya akan terganggu dan seakan-akan menyangkal keberadaan tuhan itu ada.
Di dalam ruangan ini aku menjadi manusia. Di dalam ruangan ini aku lahir kembali. Mataku terbuka dan melihat cinta di balik jendela. Melihat keindahan cahaya matahari dan bulan yang romantis malam hari. Aku ingin kembali mengulang sekali lagi apa yang sudah kujalani....... Ya Tuhan, mengapa kamu tipu saya. Kenapa tak kamu bilang bukan itu orangnya. Keliru sih boleh saja.

Bagian ending dalam cerita ini tidak jelas, karena terdapat sebuah sosok lagi yang hadir dalam naskah ini. Tokoh tersebut hanya digambarkan oleh putu wijaya dengan keadaan fisiknya saja.
DUDUK DI KURSI DAN MENJADI TUA) Omong kosong! Orang itu menggantung diri karena setelah lima puluh tahun dalam penjara, baru ia sadari segala tindakannya itu keliru. Bahkan ia yakin hukuman mati belum setimpal dengan dosa-dosanya. Lalu ia menghukum dirinya sendiri. Memang ada kasus kesalahan menghukum, tetapi itu kasus lain, jangan digado, ini bukan nasi campur!

Hal ini akan membuat kita juga akan bertanya-tanya, darimana datangnya tokoh tersebut? Dan bagaimana kelanjutan tokoh utama yang telah ’bebas’ dari hukumannya? Apakah ilustrasi tokoh tersebut merupakan tindak lanjut sikap tokoh utama? Tentu hanya pengarang yang saja yang mengerti bagaimana itu semua terlukiskan? Mungkin kita juga akan memperkirakan bahwa tokoh tua yang dihukum mati itu ialah tokoh utama yang karena putus asa dengan hukuman dan keduniawiannya sehingga ia ingin menjadi tumbal atas ketidak-adilan yang ia terima. Kelebihan dari naskah drama ini ialah pemilah diksi sang Putu Wijaya yang pintar dalam mengolah kata-kata yang kebanyakan ialah kata-kata pembandingan dengan pengungkapan-pengungkapan yang full ekspresif walaupun terlihat apa adanya. Penokohan menjadi hal yang membuat kita menjadi bingung, latar belakang yang tak jelas sehingga mempengaruhi daya kejelajahan alur yang coba diungkapkan oleh sang pengarang.

Tidak ada komentar:

Searching