Di Dusun Lembah Krakatau
By Siti Fatimah
Siti Fatimah merupakan cerpenis asal Surabaya yang mempunyai kredibilitas yang tinggi dalam dunia sastra, terbukti ia telah memperoleh penghargaan peringkat dua lomba cerpen Krakatau award pada tahun 2005 yang diadakan oleh dewan kesenian Lampung. Selain menulis cerpen cewek lulusan sastra Inggris UNAIR ini juga gemar menulis puisi dan esai sastra-budaya.
Mula-mula dalam kisah ini kita terbius oleh kehadiran si Emak dan Banjo yang seperti memerankan tugas para penggembala. Hidup di padang rumput yang luas beserta bekal makanan yang seadanya. Penulis mencoba mempengaruhi pembaca dengan gaya tokoh yang sangat sederhana. Yang ada di benak kita hanya pertanyaan siapakan kedua tokoh itu dan apa latar belakang mereka? Apakah benar keduanya berasal dari suatu desa yang terpencil sehingga belum kemasukkan globalisasi IPTEK.
Pengarang mempunyai ciri khas yang unik dalam pembuatan cerpen ini, dengan membuat chapter yang tak tuntas sehingga muncul kegelisahan dari pembaca. Belum sempat kita mengenal lebih dalam si Emak dan Banjo, kita sudah dihadirkan seorang tokoh lagi. Tokoh yang merupakan sentral segala kandungan cerita ini. Kemunculan tokoh ini digambarkan dengan rangkaian diksi yang ekspresif walaupun jika kita berkaca pada suatu kaedah ilmu itu merupakan imajinasi pengarang yang berlebihan atau boleh dikatakan ilusi semata.
Pemakaian kata Hyang menggambarkan waktu pada saat itu. Hyang lebih sering digunakan oleh kaum Hindu sebagai pusat penyembahannya. Hyang itu sendiri dapat disejajarkan dengan kata dewa. Ada beberapa dewa yang dianut oleh masyarakat Hindu misalnya Sang Hyang Widi. Disini kami dapat tarik kesimpulan bahwa cerita ini terinspirasi saat kerajaan-kerajaan Hindu berkembang di negara kita.
Kehadiran seorang malaikat ini membuat identitas dari Banjo terkuak sudah. Ternyata sang tokoh merupakan titipan dari Illahi yang hanya bersifat sementara saja. Pada saat yang akan tiba anak tersebut kembali menghada sang kuasa. Jika menilik kehidupan sosial dari sang tokoh, pembaca akan sempat terlintas di otak mereka bahwa kejadian ini mirip dengan suatu ajaran agama Kristiani. Dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa Maria (ibu dari Yesus) mendapat anugerah dari sang Bapa yaitu seorang anak yang lahir tanpa adanya hubungan suami-istri. Dan di dalam kehidupannya banyak cacian dari orang-orang yang menyangkal kehadirannya.
Pada bagian ending dari cerpen ini penulis hanya membingkainya sangat sederhana. Tampak terasa mengganjal apabila kita rentetkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Puncak klimaks justru hadir saat masyarakat mendapat teguran dari sang maha kuasa. Kepergian Banjo justru terabaikan dengan dinamika cerita yang dipakai penulis.
Cerpen ini mengandung aspek religi yang sangat besar. Kemasan pesan-pesan yang diwariskan kepada pembaca juga jelas dan rapi. Sehingga bila ditangkap secara struktural akan terjadi koneksi yang mudah antara amanat pengarang dengan tangkapan sang pembaca.
By Siti Fatimah
Siti Fatimah merupakan cerpenis asal Surabaya yang mempunyai kredibilitas yang tinggi dalam dunia sastra, terbukti ia telah memperoleh penghargaan peringkat dua lomba cerpen Krakatau award pada tahun 2005 yang diadakan oleh dewan kesenian Lampung. Selain menulis cerpen cewek lulusan sastra Inggris UNAIR ini juga gemar menulis puisi dan esai sastra-budaya.
Mula-mula dalam kisah ini kita terbius oleh kehadiran si Emak dan Banjo yang seperti memerankan tugas para penggembala. Hidup di padang rumput yang luas beserta bekal makanan yang seadanya. Penulis mencoba mempengaruhi pembaca dengan gaya tokoh yang sangat sederhana. Yang ada di benak kita hanya pertanyaan siapakan kedua tokoh itu dan apa latar belakang mereka? Apakah benar keduanya berasal dari suatu desa yang terpencil sehingga belum kemasukkan globalisasi IPTEK.
Pengarang mempunyai ciri khas yang unik dalam pembuatan cerpen ini, dengan membuat chapter yang tak tuntas sehingga muncul kegelisahan dari pembaca. Belum sempat kita mengenal lebih dalam si Emak dan Banjo, kita sudah dihadirkan seorang tokoh lagi. Tokoh yang merupakan sentral segala kandungan cerita ini. Kemunculan tokoh ini digambarkan dengan rangkaian diksi yang ekspresif walaupun jika kita berkaca pada suatu kaedah ilmu itu merupakan imajinasi pengarang yang berlebihan atau boleh dikatakan ilusi semata.
Pemakaian kata Hyang menggambarkan waktu pada saat itu. Hyang lebih sering digunakan oleh kaum Hindu sebagai pusat penyembahannya. Hyang itu sendiri dapat disejajarkan dengan kata dewa. Ada beberapa dewa yang dianut oleh masyarakat Hindu misalnya Sang Hyang Widi. Disini kami dapat tarik kesimpulan bahwa cerita ini terinspirasi saat kerajaan-kerajaan Hindu berkembang di negara kita.
Kehadiran seorang malaikat ini membuat identitas dari Banjo terkuak sudah. Ternyata sang tokoh merupakan titipan dari Illahi yang hanya bersifat sementara saja. Pada saat yang akan tiba anak tersebut kembali menghada sang kuasa. Jika menilik kehidupan sosial dari sang tokoh, pembaca akan sempat terlintas di otak mereka bahwa kejadian ini mirip dengan suatu ajaran agama Kristiani. Dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa Maria (ibu dari Yesus) mendapat anugerah dari sang Bapa yaitu seorang anak yang lahir tanpa adanya hubungan suami-istri. Dan di dalam kehidupannya banyak cacian dari orang-orang yang menyangkal kehadirannya.
Pada bagian ending dari cerpen ini penulis hanya membingkainya sangat sederhana. Tampak terasa mengganjal apabila kita rentetkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Puncak klimaks justru hadir saat masyarakat mendapat teguran dari sang maha kuasa. Kepergian Banjo justru terabaikan dengan dinamika cerita yang dipakai penulis.
Cerpen ini mengandung aspek religi yang sangat besar. Kemasan pesan-pesan yang diwariskan kepada pembaca juga jelas dan rapi. Sehingga bila ditangkap secara struktural akan terjadi koneksi yang mudah antara amanat pengarang dengan tangkapan sang pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar