Jumat, 13 November 2009

PERANAN BAHASA KIAS MEMPENGARUHI IMAJINASI PEMBACA DAN PENDENGAR DALAM PUISI KARYA ACEP ZAMZAM NOOR YANG BERJUDUL “LAGU MURNI”

LAGU MURNI

Sunyi pun menyeru dalam dalam geliat rindhu
Kita di sini, menating kesementaraan waktu
Hari-hari pun luruh, menimbun tanah usia
Kian tenggelam: sunyi ini terus menyeru

Tinggal tulang, tinggal napas yang bimbang
Berbaring sepanjang perjalanan: usia yang membaringkan kita
Di sini, menandu nisan berpahatkan firman

Bertuliskan rindu dendam, keabadian kenang

Kita di sini, kekasih, berbeban cinta
Masih juga sunyi, dan rinai suara dari tangis
Semesta
Kita lecut kuda paling putih: iman dan nyala api kasih


1982
Abstrak: Acep Zamzam Noor sebagai seorang penyair dan seniman telah banyak menghasilkan puisi-puisi yang indah dan penuh makna yang mendalam. Oleh sebab itu perlu dibahas tentang makna-makna yang dipakai dalam penulisan puisinya tersebut. Puisi dengan judul “Lagu Murni” adalah suatu kiasan tentang kesunyian yang amat mendalam dalam sebuah penantian panjang di alam kubur. Di sisni penyair menuliskan dengan kiasan-kiasan yang sendu dan menyentuh hati. Dengan diikuti pilihan kata yang pas dan sesuai maka rentetan kata yang dituliskannya akan membuat kita menjadi berpikir dan berimajinasi serta menggabungkannya dengan kenyataan yang ada. Sehingga untuk memahaminya diperlukan penjelasan terhadap kiasan-kiasan tersebut terlebih dahulu.

Kata kunci: pilihan kata, makna kata

Pendahuluan
Karya sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni yang menggunakan bahasa sebagai wahana penuturnya, juga lazim menggunakan bahasa kias sebagai salah satu bentuk ungkapan dalam pemaparannya. Namun bahasa kias dalam karya sastra ini berbeda dengan penggunaan bahasa kias yang sering kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih dalam bentuk puisi merupakan bahasa kias yang bersifat lebih personal.
Bahasa kias dalam puisi juga memilki peranan yang sangat penting. Tanpa adanya bahasa kias puisi akan menjadi monoton layaknya suatu karangan cerita. Di mana maksud dari isinya mudah untuk dipahami. Namun berbeda dengan penggunaan bahasa kias, kita akan bisa membandingkannya dengan kenyataan yang ada, sehingga kita menjadi lebih berpikir dan juga menghayatinya dalam menangkap makna dari suatu puisi.Dan ketika mengetahui makna dari isi puisi tersebut kita pun juga ikut bisa merasakan akan sesuatu yang digambarkan. Karena dalam pembentukan persepsi seseorang juga menghadirkan gambaran sesuatu secara bermakna.
Bisa dicontohkan, ketika seseorang mengamati laut. Dalam imajinasinya bisa muncul suatu gambaran bahwa laut itu sangat luas tak terbatas. Serta memiliki kedalaman yang keseluruhannya tidak bisa dipahami dengan mudah. Selain itu laut kadang-kadang juga memberikan inspirasi, tantangan, dan juga harapan kepada kita.
Bila dibandingkan dengan bentuk pengalaman yang lain, pembayangan tersebut bisa dirasakan akrab dengan bentuk pembayangan fakta dalam kehidupan. Karena sebenarnya kehidupan juga dapat dibayangkan sebagai sesuatu yang luas tak terbatas, menyimpan banyak misteri, tantangan, dan impian. Oleh sebab itu hubungan antara bahasa kias dalam karya sastra dengan bahasa kias yang sering kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari tidaklah jauh berbeda, bahkan sebenarnya masih ada suatu maksud yang saling berhubungan.

Pembahasan
Bahasa kias memang sangat berpengaruh pada kapasitas suatu puisi. Dengan bahasa kias, kita tidak hanya membaca namun kita juga bisa menjadi ikut larut ke dalam sesuatu yang digambarkan pada makna puisi tersebut. Namun apabila kita tidak mengerti tentang bahasa kias digunakan, justru itu yang membuat kita tidak bisa memahami isi puisi tersebt dengan baik. Sebab itu pengalaman dan pengetahuan seseorang juga menentukan kompleksitas persepsi, penghubungan butir persepsi yang satu dengan butir yang lainnya.
Pada puisi diatas, jelas dihasilkan berdasarkan hasil pembentukan persepsi penyair pada suatu gambaran kesunyian dalam kematian. Pada bait “sunyi pun menyeru pada geliat rindu/kita di sini, menating kesementaraan waktu/hari-hari pun luruh, menimbun tanah usia/kian tenggelam: sunyi ini terus menyeru”. Meskipun demikian larik-larik puisi di atas tidak ternyatakan dalam bentuk yang logis, namun masih bisa ditarik sedikit kesimpulan bahwa apabila kita sudah di alam kubur, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan kesenangan layaknya masih hidup di dunia. Kita menyesali apa yang telah kita perbuat pun juga percuma. Semua kesenangan, kesedihan, kerinduan, dendam kini hanya tinggal kenangan saja, dan hanya kesunyianlah yang kita dapatkan.
Kemudian pada bait “tinggal tulang, tinggal napas yang bimbang/berbaring sepanjang perjalanan, sunyi yang panjang. Ketika seseorang memahami kata kias dalam larik di atas secara tidak langsung pasti muncul suatu gambaran yang tiada kehidupan. Di mana hanya tinggal tulang dan hanya ada napas yang selalu bimbang. Kata “berbaring” menegaskan bahwa tubuh itu hanya bisa diam terbaring sepanjang perjalanan.”Sepanjang perjalanan” di sini maksudnya adalah selama penantian di alam kubur, di mana hanya terdapat kesunyian yang tiada habisnya.
Selanjutnya “sepanjang padang perburuan: usia yang membaringkan kita”. Maksudnya di sini selama kita hidup di dunia ini hanya usialah yang menghentikan perjalanan hidup kita. Usia yang semakin tua semakin membuat jiwa dan raga kita semakin rapuhdan akhirnya meninggal.
Selain itu “kita lecut kuda paling putih: iman dan nyala api kasih”. Menggambarkan bahwa sesuatu hal yang paling ampuh, yang bisa mengentaskan kita dari penderitaan panjang itu hanyalah iman dan amal kebaikan kita selama hidup di dunia. Di sini ditegaskan pada kata “kuda paling puith” memberikan makna yang sangat mendalam yakni sesuatu hal bisa mengantar kita dengan cepat kepada suatu kebaikan, kepada suatu kebahagiaan, dan melepaskan dari lembah kenistaan.



DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. 1995. STILISTIKA Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press
Noor, Acep Zamzam. 2007. Menjadi Penyair Lagi. Bandung: Pustaka Azan


Tidak ada komentar:

Searching