a. pengertian
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar istilah apresiasi. Barangkali dalam benak kita muncul pertanyaan: apa itu apresiasi? Istilah apresiasi muncul dari kata appreciate (Ing), yang berarti menghargai. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk menghargai sastra. Namun, dalam perkembangan berikutnya pengertian apresiasi sastra semakin luas. Banyak tokoh mencoba memberikan batasan tentang apresiasi sastra. S. Effendi memberikan batasan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Sedangkan tokoh lain , Yus Rusyana mendefinisikan apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai karya satra, dan kegairahan serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu.
Dua batasan yang dikemukakan oleh dua tokoh di atas pada prinsipnya tidak saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Perbedaan yang tampak hanyalah terletak pada penggunaan istilah saja. Lepas dari perbedaan istilah yang dipakai oleh dua tokoh tersebut, pada intinya kegiatan apresiasi sastra didasari oleh pengertian bahwa karya sastra itu indah dan bermanfaat (dulce et utile). Dengan kata lain, di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai hidup. Untuk itu, apresiasi sastra bertujuan mengasah sikap peka terhadap persoalan hidup, mempertebal nilai moral dan nilai estetis dalam diri . Untuk dapat memahami dan memperoleh nilai-nilai dalam karya sastra, tidak ada cara lain kecuali membaca, bergaul, dan mengakrabi karya sastra itu sendiri.
b. Tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra
Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai moral dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus memiliki “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang berarti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.
Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.
Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘empati’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa cerita, kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.
Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak hanya sekedar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) saja, tetapi dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.
c. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra
Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini akan dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator
Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.
Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.
Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.
PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Kritik sastra perlu dibedakan dengan sastra kritik. Kritik sastra termasuk suatu
cabang ilmu sastra, meskipun dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan pendapat.
Sastra kritik adalah suatu ciptaan sastra yang mengandung suatu kritik, entah dalam
rupa humor yang Sinis, setir, ataupUn simbolik. Domba-domba revolusi karangan B.
Sularto, Corat-coret di bawah tanah karangan Idrus, Si Jamal karangan Mokhtar Lubis,
semuanya adalah sastra kritik. Kritik sastra amat dekat hubungannya dengan esai.
Perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak antara bagaimana pendekatannya
terhadap suatu persoalan. Dalam Insiklopedi Britanica dikatakan bahwa: "esei adalah
karangan yung sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan
suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu tepatnya mempersoalkan suatu
persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis."
Jadi karangan esei lebih bersifat pribadi, karena karangan itu terbatas sejauh
persoalan itu merangsang hati penulis. Akibatnya esei bersifat subyektif fragmentaris,
tidak menyeluruh. Menulis esei tidak perlu motivasi-motivasi intelektuil, filosofis
ataupun religius.
Kritik sastra lebih bersifat obyektif dari pada esei, meskipun dalam
perkembangannya kemudian ada juga kritik yang sangat subyektif sifatnya. Kritik sastra
lebih dekat pada kutub ilmiah, sehingga dituntut norma-norma tertentu yang haruS
diperhatikan.Untuk mendapatkan pengertian tentang kritik sastra terlebih dahulu baiklah kita kemukakan beberapa defenisi tentang kritik sastra yang pernah dikemukakan orang.
Keterangan secara etimologis sukar diperoleh. Dalam bahasa Yunani ada kata krinein
yang berarti "to judge or discern", menghakimi atau membedakan. Keterangan ini
mungkin membantu pengertian tentang kritik selanjutnya.
Kritik dalam pengertian umum - bukan dalam hubungannya dengan kritik sastra
seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. N.C. Kwant dalam bukunya Mens en. Kritik
ialah sebagai berikut: Kritik menyederhanakan kenyataan secara penuh tanggung jawab
dengan tujuan agar orang yang bersangkutan mengadakan pemikiran kembali dan
selanjutnya mengadakan perbaikan diri atau self koreksi. Dari uraian di atas kita dapat
menarik kesimpulan bahwa setiap kritik mesti berdasarkan kenyataan-kenyataan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Definisinya tentang kritik sastra dapat diperoleh dari beberapa buku kamus,
ensiklopedi atau dari beberapa buku tentang kritik. Macam ragamnya banyak sekali dan
sering perbedaan-perbedaan itu disebabkan pula oleh keahlian seseorang dalam suatu
bidang pengetahuan tertentu. Wayen Shumaker dalan bukunya Elements of Critical
Theory telah mencoba mengemukakan beberapa defenisi tentang kritik sastra yang
intellegent (any intellegent discussion of literature adalah kritik sastra dengan ketentuan
bahwa intellegent harus diartikan secara luas dan sastra merupakan titik pusat perhatian,
tidak hanya sekedar alat bagi seorang kritikus - (intellegent be interpreted liberally and
that literature be the focus and not morely the vehicle of the critic's interest). Tujuan
kritik menurut Shumaker ialah pemahaman yang penuh berisi penilaian terhadap suatu
subyek yang bersifat kritis (the full, evaluated apprehension of the critical subject
matter).
Dari berbagai definisi yang tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan secara
ringkas, bahwa kritik sastra ialah penilaian tentang suatu cipta sastra. Kata penilaian
dapat mengandung pengertian pertimbangan tentang baik buruknya suatu cipta sastra
atau pengertian penghakiman (judgement). Untuk memberi penilaian terhadap suatu
cipta sastra seorang kritikus terlebih dahulu harus mengadakan pemahaman atau
pendalaman yang sepenuh-penuhnya terhadap cipta sastra itu. Sesudah kita mengadakan
pemahaman benar-benar, maka dengan melalui suatu analisa dan penafsiran barulah kita
sempai kepada penilaian.
Dalam kamus Amerika yang berjudul New Internasional susunan Webster
dikatakan bahwa kritik adalah: The art of judging on Evaluating with knowledge and
Propriety the beauties and Faults of Works of art or Literature. Definisi yang hampir
serupa terdapat dalam Encyclopedia Britanica edisi ke II yang menyebutkan bahwa
kritik adalah: the art of judging the qualities and values of a aesthetic object, whether in
literature or the fine arts.
Dari kedua definisi tersebut di atas jelaslah bahwa tugas kritik yang terutama
ialah menilai atau memberi pertimbangan tentang baik buruknya tentang suatu karya
seni. Hal ini sesuai dengan definisi H.B. Yassin yang mengatakan, bahwa: Kritik
kesusastraan ialah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil kesusastraan.
Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil
kesusastraan. secara singkat oleh Yassin dikatakan bahwa: kritik ialah penerangan dan
penghakiman.
Gayus Siagian dalam referatnya pada simposium sastra pada tahun 1956 di
Jakarta antara lain mengatakan bahwa kritik adalah analisa dari kemungkinankemungkinan dan faktor-faktor yang membatasi dalam suatu keseluruhan artistik,kadang-kadang dia juga hanya merupakan penerangan mengenai bentuk dan isi yang disajikan. LA Richards, seorang kritikus yang beraliran psikologis berpendapat bahwa kritik adalah usaha untuk membeda-bedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya (pengalaman-pengalaman tersebut).
Criticism
Kritiksisme sastra adalah studi, pembahasan, evaluasi, dan interpretasi dari sastra. Kritisisme sastra modern seringnya diinformasikan oleh teori sastra, yang merupakan pembahasan filosofis dari metode dan tujuannya. Meskipun kedua aktivitas tersebut berhubungan erat, kritik sastra, tidak selalu, dan tidak akan pernah menjadi, teori.
Baik iya atau tidak kritisisme harus dipertimbangkan sebagai bidang penyelidikan yang terpisah dari teori sastra, atau sebaliknya dari pengulasan buku, adalah sebuah masalah dari beberapa kontroversi. Sebagai contoh Guide to Literary Theory and Criticism (panduan pada teori dan kritisisme sastra) milik Johns Hopkins tidak menarik perbedaan antara teori sastra dan kritisisme sastra, dan hampir selalu menggunakannya bersama-sama untuk menggambarkan konsep yang sama. Beberapa kritikus menganggap kritisisme sastra sebagai sebuah aplikasi praktis dari teori sastra, seperti kritisisme selalu berurusan secara langsung dengan pekerjaan sastra, sekalipun dari sudut pandang teoritis
Kritisisme sastra Modern seringnya dipublikasikan dalam bentuk esai atau buku. Kritik sastra modern diajarkan dalam jurusan sastra dan dipublikasikan dalam jurnal akademik, dan kritik yang lebih populer mempublikasikan kritisisme mereka dalam Buku yang disirkulasi secara luas seperti New York Times Book Review, New York Review of Books, London Review of Books, The Nation, dan The New Yorker.
New criticism
Pengertian
Kritisisme Baru adalah sebuah pendekatan pada sastra yang dikembangkan oleh sekelompok pengkritisi Amerika, yang kebanyakan mengajar pada universitas Southern selama tahun-tahun setelah perang dunia pertama. Kritik baru tersebut menginginkan untuk menghindari kritisisme impresionistik, yang beresiko menjadi dangkal dan arbitrase, dan pendekatan sosial/sejarah yang dengan mudah akan digolongkan oleh disiplin lainnya. Dengan demikian, mereka mencoba untuk mensistematisasi penelitian sastra, untuk mengembangkan sebuah pendekatan yang berpusat pada kekuatan penelitian itu sendiri. Mereka diberikan nama oleh John Crowe Ransom, yang menggambarkan formalis Amerika baru dalam The New Criticism (Kritisisme Baru) (1941).
Formalisme Kritis Baru
Kritisisme Baru adalah sangat jelas formalis dalam karakter. Hal tersebut menekankan perhatian yang seksama pada karakteristik internal dari teks itu sendiri, dan hal tersebut melemahkan penggunaan dari bukti eksternal untuk menjelaskan hasill pekerjaannya. Metode dari kritisme baru utamanya adalah pembacaan dengan seksama, mengkonsentrasikan pada aspek formal seperti ritme, meter, tema, perumpamaan, metafora, dst. Interpretasi dari sebuah teks menunjukkan bahwa aspek ini bertindak sebagai penunjang dari artian didalam teks.
Kualitas estetika yang dipuji oleh Kritik Baru sebagian besar diwariskan dari tulisan kritis dari Samuel Taylor Coleridge. Coleridge adalah orang pertama yang menguraikan sebuah konsep dari puisis sebagai sebuah keseluruhan organik yang bersatu yang merekonsiliasi konflik internalnya dan mencapai beberapa keseimbangan akhir atau harmoni.
Dalam The Well-Wrought Urn (1947), Cleanth Brooks mengintegrasi pertimbangan ini kedalam pendekatan Kritisistem Baru. Dalam menginterpretasikan pekerjaan canonical (resmi menurut hukum gereja) dari puisi, Brooks secara konstan menganalisis alat yang mana mereka menetapkannya berlawanan dengan puisi tersebut dan kemudian memisahkannya. Melalui penggunaan dari “kontras ironis” dan “ambivalen”, puisi tersebut mampu untuk menciptakan paradoks internal yang selalu terpisah. Dalam analisis Kritisisme Baru tertutup, puisi tersebut ditunjukkan merupakan sebuah struktur hirarkis dari artian, yang bisa diberikan oleh pembacaan yang benar.
Paganisme dari pengartian sendiri
Meskipun Kritisisme Baru tidak mempertimbangkan artian dari sebuah puisi adalah tidak berarti apa-apa, mereka menolak pendekatan yang memandang puisi sebagai sebuah usaha untuk mewakili "Dunia riil". Mereka menjustifikasi penghindaran dari pembahasan akan kandungan sebuah puisi melalui sebuah doctrin "Heresy of Paraphrase,(Paganisme dari pengartian sendiri)" yang juga digambarkan dalam The Well-Wrought Urn. Buku yang mempertimbangkan bahwa arti sebuah puisis adalah kompleks dan tepat, dan usaha apapun untuk mengartikannya sendiri tidak dapat dielakkan menrusak atau mengurangi artinya. Dengan demikian, usaha apapun untuk mengatakan bahwa artian sebuah puisi adalah paganis, karena hal tersebut adalah sebuah penghinaan bagi integritas dari struktur kompleks dari artian didalam hasil pekerjaan tersebut.
Pemikiran salah akan tujuan dan pemikiran salah Afektif
Dalam The Verbal Icon (1954), William Wimsatt dan Monroe Beardsley menggambarkan dua pemikiran salah lainnya yang ditemukan dalam studi sastra.
"Pemikiran salah akan tujuan" adalah kesalahan dalam mencoba untuk memahami tujuan penulis saat menginterpretasikan sebuah hasil sastra. Pendekatan demikian adalah pemikiran yang salah karena arti dari sebuah hasil kerja harus sepenuhnya dikandung didalam hasil pekerjaan itu sendiri, dan usaha untuk memahami tujuan penulis melanggar otonomi dari hasil pekerjaan tersebut.
"pemikiran salah afektif" adalah kesalahan dalam memperhitungkan sebuah hasil kerja dengan efek emosionalnya pada audiens. Kritisisme Baru percaya bahwa sebuah teks seharusnya tidak harus dipahami relatif pada respon dari pembacanya; pemahamannya (dan artiannya) harus inheren.
Preferensi Kritisisme Baru akan Puisi
Kritisisme Baru memberikan hak istimewa bagi puisi atas bentuk lainnya dari ekspresi sastra karena melihat puisi sebagai perwujudan yang paling murni dari nilai sastra yang mereka pegang. Namun begitu, teknik akan pembacaan tertutup dan analisis struktural dari teks telah juga diaplikasikan pada fiksi, drama, dan bentuk sastra lainnya. Teknik-teknik ini masih merupakan pendekatan kritis dominan dalam banyak pengajaran sastra modern.
Kritik dan respn yang mungkin ada
Karena Kritisisme Baru merupakan sebuah program yang kaku dan terstruktur untuk studi dari sastra, sehingga hal tersebut terbukan akan kritik dari berbagai arah. Pertama, dalam desakannya akan pengeluaran dari bukti eksternal, Kritisisme Baru mendiskualifikasi banyak perspektif yang mungkin berguna untuk memahami teks, seperti historisisme, psikoanalisis, dan Marxisme. Karena Kritisisme Baru bertujuan untuk menemukan satu pembacaan yang “benar”, paham tesebut juga mengacuhkan ambiguitas dari bahasa dan sifat aktif dari persepsi dari arti yang digambarkan oleh ahli pasca-strukturalis. Terakhir, paham tersebut bahkan bisa dipersepsikan sebagai sebuah elitis, karena paham tersebut mengeluarkan pembaca yang kurang latar belakang untuk tiba pada interpretasi yang “benar”.
Namun begitu, pembela dari Kritisisme Baru akan mengingatkan kita bahwa pendekatan ini ditujukan untuk berurusan dengan puisi dan lingkungannya itu sendiri. Sementara Kritisisme Baru tidak akan menawarkan kita kisaran yang luas dari perspektif pada teks, tampaknya paham tersebut mencoba untuk berurusan dengan teks sebagai hasil kerja dari seni sastra dan bukan yang lainnya.
1 komentar:
Assalamualaikum,.. Bung Adiel,. saya boleh minta daftar pustaka dari artikel anda?
Trm's
-Irfad-
Posting Komentar